Selasa, 15 November 2022 17:52 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Politikus Partai Gelora Fahri Hamzah mengatakan bahwa penyandang dana atau biasa disebut bohir dalam pemilihan presiden umumnya akan mengambil keputusan final dukungannya menjelang penetapan.
Hal tersebut ia sampaikan dalam webminar bertajuk 'Siapa Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2024' pada Selasa (15/11/2022). "Selama saya 15 tahun di dunia politik mengikuti Pemilu, yang menyatukan parpol itu memang bohir atau para pembayar karena kita tidak mengatur secara rigid tentang keuangan Pilpres," ujar Fahri.
Menurut Fahri, pada umumnya bohir baru akan mengambil keputusan jelang penetapan KPU. Sehingga hingga saat ini belum ada bohir yang 100 persen menentukan arah dukungannya. "Bohir akan membuat pilihannya di September 2023. Enggak ada bohir menaruh kartunya sekarang, omong kosong. Ini seperti main catur, dia mau menggerakkan pion di mana," terang Fahri.
Ia menyebutkan ada dua alasan mengapa bohir dalam Pemilu dan Pilpres 2024 tidak akan menaruh dukungan saat ini. Pertama, belum dapat kepastian dari KPU. Kedua bagaimana bisa mengajukan calon lain yang dapat mengalahkan. ”Bohir bisa tekor di depan gak bakalan mau," kata Fahri.
Fahri menilai sistem demokrasi dalam Pemilu di Indonesia pada 2019 lalu juga merupakan buah tangan dari para bohir tersebut. Semakin banyak partai "Jadi ini yang menyatukan, semakin banyak partai semakin kacau. Jadi bohir yang menentukan saya mau ini dan ini. Itulah yang terjadi di Pemilu lalu. Sekonyong-konyong muncul Ma'ruf Amin, dan Sandiaga Uno. Pembayaran, di sini sanggup membayar, di sini ada yang mau bayarin," ungkap Fahri.
Melihat kondisi ini, Fahri mendorong perbaikan sistem."Jadi kritik saya kritik terhadap sistem bukan figur. Saya sarankan buat sistem primary. Gak apa-apa Nasdem dan Anies mendeklarasikan. Yang kita pilih itu Presiden, misalnya Nasdem dan Anies. Kemudian dimulai debat primary. Partai lain juga sama Barulah pertarungan satu tahun ini punya makna. Media boleh mengundang, kampus boleh mengundang. Karena ini mempengaruhi elektabilitas," tuturnya.
Fahri Hamzah menilai sistem demokrasi di Indonesia selama beberapa waktu terakhir kerap terbalik. "Di Indonesia ini kacau, elektabilitas dulu baru nominasi. Padahal seharusnya tarung di nominasi dahulu baru elektabilitas," jelas Fahri Hamzah.
Fahri Hamzah menilai upaya pembelahan dengan menggunakan politik identitas yang membuat masyarakat irasional juga nantinya justru malah akan membuat calon pemimpin yang terpilih tidak dapat bekerja dengan baik.
"Teori saya warisan masa marah, ada dua pihak, dari massa marah Islam memilih Anies Baswedan, dan massa marah nasionalis dari Ganjar. Semakin irasional pemilih, maka akan semakin jelek kualitas pekerjaan pemimpin yang terpilih. Apalagi 85 persen politik itu semua menikam dari belakang," tutup Fahri Hamzah.(des)