Oleh: Hasannudin/Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI
Komnas HAM menyimpulkan adanya unlawfull killing yang dilakukan anggota Polri terhadap empat orang laskar FPI. Ketua Tim Penyelidikan dan Pemantauan Komnas HAM, Choirul Anam dalam pemaparan hasil investigasi Komas HAM pada Jumat ( 8/1/2021) menyampaikan bahwa dari hasil penyelidikan diketahui terdapat enam orang anggota FPI yang meninggal dalam dua konteks yang berbeda.
Konteks pertama, dua laskar FPI tewas ketika bersitegang dengan aparat kepolisian dari Jalan Internasional Karawang Barat sampai Km 49 Tol Jakarta-Cikampek. Ia menyatakan bahwa sebanyak dua anggota FPI meninggal dunia dalam peristiwa saling serempet antara mobil yang mereka pergunakan dengan polisi, di antara Jalan Internasional Karawang sampai KM 49 tol Cikampek.
Sedangkan konteks kedua, empat orang lainnya yang masih hidup dan dalam penguasaan petugas resmi negara yang kemudian ditemukan tewas. Komnas HAM juga menyatakan penembakan sekaligus terhadap empat orang dalam satu waktu tanpa ada upaya lain yang dilakukan untuk menghindari semakin banyaknya jatuh korban jiwa mengindikasikan adanya unlawfull killing terhadap empat orang anggota laskar FPI. Oleh sebab itu, Komnas HAM menyatakan peristiwa tewasnya empat orang laskar FPI merupakan kategori dan pelanggaran HAM. Selanjutnya Komnas HAM merekomendasikan kasus ini harus dilanjutkan ke penegakan hukum dengan mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil lebih lengkap dan menegakkan keadilan.
Rekomendasi lainnya adalah mengusut lebih lanjut kepemilikan senjata api yang diduga digunakan laskar FPI. Selanjutnya Komnas HAM meminta agar proses penegakan hukum dilakukan secata akuntabel, objektif, dan transparan sesuai standar Hak Asasi Manusia.
Peristiwa kematian empat orang anggota lascar FPI yang oleh Komnas HAM disebut pelanggaran HAM, seperti menambah daftar panjang deretan peristiwa penggunaan kekerasan seperti dalam menangani demonstrasi memprotes hasil pemilihan umum di bulan Mei 2019, dan juga aksi damai para mahasiswa dan pelajar dalam beberapa aksi demonstrasi menanggapi produk UU yang dinilai kontroversial.
Dalam peristiwa tersebut, seperti dicatat Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan (14/10/2020), terjadi banyak pelanggaran hak asasi manusia antara lain penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, tindak kekerasan, hingga penggunaan kekuatan yang berlebihan dengan peluru karet, peluru tajam dan gas air mata. Akibatnya, tindakan ini menyebabkan warga masyarakat mengalami memar, luka robek, bocor di kepala, muka bengkak dan bahkan korban jiwa.
Pengalaman Amerika Serikat
Sikap represif aparat keamanan kerap terjadi di negara demokratis seperti di Amerika Serikat yang terakhir memicu gelombang demonstrasi besar-besaran di Amerika Serikat dan warga di belahan dunia lain yang menuntut dihentikannya perilaku rasisme terhadap warga sipil serta aksi kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian.
Gelombang protes di Amerika bermula dari kematian seorang pria kulit hitam bernama George Floyd (46) setelah terjadinya insiden yang melibatkan seorang petugas polisi Minneapolis bernama Derek Chauvin pada 25 Mei 2020 tahun lalu. Dalam insiden itu, Derek menindih leher Floyd dengan lututnya ke tanah hingga tewas.
Kematian Floyd akibat kebrutalan polisi di AS bukanlah kali pertama. Menurut Ensiklopedia Britannica, hubungan buruk polisi dengan warga sipil khususnya warga Afrika-Amerika bermula dari migrasi besar oleh orang-orang Afrika-Amerika dari wilayah Selatan menuju wilayah Utara dan Barat pada periode 1916-1970. Kehadiran warga kulit hitam tersebut dipandang komunitas kulit putih dan kepolisian sebagai suatu ancaman karena adanya stereotip kecenderungan kriminal yang melekat pada orang kulit hitam. Hal tersebut membuat kepolisian "berupaya" melindungi warga kulit putih dari orang kulit hitam.
Dengan populasi warga kulit hitam 42,02 juta penduduk (13%), rata-rata tahunan tingkat pembunuhan warga kulit hitam (annual average police homicide rate) oleh polisi tercatat sebesar 6,61. (sumber:
mappingpoliceviolence.org). Angka tersebut hampir tiga kali lipat dibandingkan angka pada warga kulit putih yang tercatat sebagai populasi terbanyak di AS dengan 2,45. Sedangkan rerata tahunan tingkat terbunuh oleh polisi bagi warga ras hispanik yaitu sebesar 3,78.
Meskipun tercatat menewaskan warga sipil, namun mayoritas pelaku (98,7%) lolos dari hukuman pidana. Pada 7.524 kasus, tuntutan pidana untuk pelaku tidak diketahui, sedangkan para pelaku pada 38 kasus lolos dari tuntutan pidana. Hanya sekitar 1,3 persen pelaku yang dituntut pidana. Sebanyak 76 petugas dituntut, lalu 25 petugas lainnya dituntut dan dinyatakan bersalah dengan hukuman penjara yang bervariasi mulai dari 3 bulan hingga seumur hidup. Dari total kasus sepanjang 2013-2019, sekitar 7.552 (98,7%) pelaku lolos dari tuntutan pidana. Hal tersebut menunjukan aparat kepolisian di AS seolah 'kebal hukum' karena lebih sering lolos dari tuntutan pidana atas kasus pembunuhan.
Apa yang Mesti Dilakukan?
Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Pelaksanaan HAM merupakan salah satu hal mendasar dalam suatu negara sebagai bagian dalam menciptakan democratic Governance.
Democratic governance sering dipahami dalam tiga dimensi yakni good governance, Hak Asasi Manusia (HAM), dan demokrasi. Indonesia seperti halnya mayoritas negara lain berusaha memperbaiki ketiganya. Pada sisi lain ketika hal tersebut telah berhasil dilaksanakan maka suatu negara dapat dipandang sudah menjalankan democratic governance secara positif. Penekanan yang harus dilakukan dalam democratic governance adalah transparansi dan tanggung jawab, kepatuhan pada peraturan hukum, pelibatan partisipasi maksimal, dan hal lainnya adalah perlindungan dan peningkatan HAM serta kepatuhan melaksanakan mekanisme demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Peristiwa pelanggaran HAM pada kasus tewasnya empat laskar FPI dan beberapa kasus kekerasan yang dilakukan aparat perlu menjadi catatan serius untuk segera diperbaiki. Seperti yang disampaikan YLBHI (11/1/2021) Presiden perlu melakukan evaluasi total kepolisian khususnya mengenai kekerasan dalam penyelidikan dan penyidikan, pengejaran tersangka dan penanganan demonstrasi serta penggunaan senjata api. Baik untuk perbaikan sistem maupun proses hukum terhadap kasus-kasus kekerasan di luar proses hukum yang tidak ditindaklanjuti selama ini.
Adapun untuk pelanggaran HAM pada kasus terbunuhnya empat anggota laskar FPI dan dugaan penggunaan senjata api oleh laskar FPI untuk menyerang petugas, Presiden perlu terus mengawal dan mendorong Polri untuk segera melaksanakan hasil rekomendasi Komnas HAM untuk menindaklanjuti peristiwa tersebut dengan melakukan penegakan hukum secara adil, terbuka, dan transparan.
Hal tersebut memang tidak mudah. Meski tidak seburuh di Amerika, pengalaman penegakan hukum kepada aparat seperti di negara Amerika Serikat memang membuat miris karena sebanyak 98,7% tertuduh pelaku kekerasan (pembunuhan) oleh aparat kepolisian Amerika lolos dari hukuman. Namun justru di sini tantangangannya, Indonesi harus lebih baik dari Amerika. Meski seperti yang menjadi catatan YLBHI banyak laporan yang dilakukan masyarakat pada umumnya tidak ditindaklanjuti. Jika ada yang ditindaklanjuti maka umumnya dikenakan hukuman disiplin. Itu merupakan momentum baik Presiden untuk membuat tonggak sejarah perbaikan institusi Polri agar institusi ini makin lebih baik.
Hal lainnya adalah penting memberi ruang demokrasi yang lebih baik pada orang/ kelompok orang yang berbeda/ menyatakan ketidaksetujuaanya pada kebijakan pemerintah tanpa mereka merasa diintimidasi. Penting juga konsisten pada penegakan HAM sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai negara modern yang menjungjung tinggi prinsip democratic governance.