Sabtu, 11 Juli 2020 19:20 WIB

Kemudahan dan Perlindungan Usaha dalam RUU Cipta Kerja, Harus Melingkupi pula Para Penyandang Disabilitas

Editor : A. Amir
Hj. Ledia Hanifa Amaliah, S.Si, M. Psi.T Anggota Fraksi PKS DPR RI/ A-427 Komisi X: Pendidikan, Pariwisata & Ekonomi Kreatif, Pemuda dan Olahraga

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pembahasan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja semakin mengerucut pada persoalan asasi terkait dukungan bagi ekosistem usaha di Indonesia. Pada Bab V misalnya termaktub pasal-pasal yang berbicara soal Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Menengah serta Perkoperasian.

Mulai dari Pasal 98 hingga Pasal 102 tercantum setidaknya empat poin pokok pendukung keberlangsungan dan kemajuan ekosistem usaha di Indonesia, yaitu dalam hal: kemudahan perizinan, pendampingan dan pemberdayaan usaha, dukungan berupa fasilitas dan insentif serta kemudahan dalam hal pembiayaan.

Anggota Badan Legislasi dari Fraksi PKS, Ledia Hanifa Amaliah mengapresiasi langkah kemajuan pembahasan ini sambil terus mengingatkan pemerintah agar dukungan bagi ekosistem usaha terutama bagi para pengusaha mikro dan kecil tidak boleh melupakan para penyandang disabilitas.

Pemenuhan hak pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi bagi para penyandang disabilitas merupakan amanah Pasal 11 Undang-undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. Karena itu sejak awal saya mengingatkan pemerintah agar betul-betul memasukkan upaya memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas terkait persoalan membangun usaha ini ke dalam pembahasan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja. Apalagi ke depannya akan banyak ketentuan teknis yang diatur lewat regulasi turunan semacam Peraturan Pemerintah.”

Ledia mengingatkan, para penyandang disabilitas usia 19 hingga 65 tahun yang jumlahnya berkisar pada angka 19 juta orang berdasarkan data Susenas 2018, pada kenyataannya banyak menemui hambatan saat mengikuti jenjang pendidikan hingga pada akhirnya juga terhambat dalam persaingan di dunia kerja. Menjadi pegawai, baik negeri maupun swasta, bagi para penyadang disabilitas jauh lebih sulit dan menantang hingga mereka pada akhirnya harus berjuang hidup dengan menjadi pekerja informal atau berkarya secara mandiri dengan segala keterbatasan yang ada.

“Para penyandang disabilitas yang memiliki usaha mandiri ini umumnya memiliki usaha yang masih berkategori usaha skala mikro dan kecil sehingga sangat membutuhkan support negara. Tapi dari beberapa curhatan mereka kepada saya kondisi disabilitas merekalah yang justru kerap dijadikan alasan hingga mereka sulit mendapat izin usaha, akses pembiayaan apalagi pemberian fasilitas, insentif dan pendampingan perkembangan usaha.” papar mantan Ketua Panja Undang-Undang Disabiltas pada 2015-2016 ini lagi.

Karenanya, ketika RUU Omnibuslaw Cipta Kerja yang tengah menjadi pembahasan di Baleg DPR RI membuka pintu kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan bagi para pengusaha mikro, dan kecil maka upaya pemenuhan hak-hak bagi para penyandang disabilitas inipun harus menjadi perhatian khusus sesuai dengan amanah Undang-Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas.

Mengacu pada Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas ini, pasal 56 hingga 60 secara khusus menyebutkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah terkait pemenuhan hak para penyandang disabilitas soal pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi.

“Pasal 56 hingga 60 dalam Undang-Undang Tentang Penyandang Disabilitas ini menjabarkan bagaimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberi perlindungan dan pendampingan dalam membangun usaha, membuka akses permodalan, membuka peluang pengadaan barang dan jasa serta pemberian dukungan pemasaran bagi usaha-usaha yang dilakukan oleh para penyandang disabilitas. Tentu hal ini harus menjadi dasar pula saat kita membahas RUU Cipta Kerja karena memiliki satu irisan yang sangat jelas dengan tujuan memajukan ekosistem usaha di Indonesia yang melingkupi semua warga negara tanpa kecuali.” Kata Sekretaris Fraksi PKS ini pula.

Ledia kemudian mencontohkan; ketika pasal 98 RUU Cipta Kerja berbicara soal kemudahan pendaftaran dan satu izin tunggal meliputi perizinan berusaha, izin edar, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal, perlu dipastikan agar upaya pendaftaran dan perizinan ini ramah disabilitas dan pemerintah pun perlu menyiapkan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi mereka sesuai amanah Undang-undang No 8 Tahun 2016.

Begitu pula dengan pasal 103 RUU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa pemerintah memfasilitasi tersedianya layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil serta pasal 102 yang memberikan dukungan anggaran bagi usaha mikro kecil, maka hal ini harus pula melingkupi para pelaku usaha dari kelompok para penyandang disabilitas.

“Intinya, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus memastikan bahwa setiap regulasi dan implementasinya ramah disabilitas. Menyediakan aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi setiap pelaku usaha penyandang disabilitas merupakan satu standar layanan yang perlu dimasukkan dalam setiap turunan kebijakan. Sehingga bila ada tuna netra, tuna rungu, tuna daksa atau penyandang disabilitas lain yang akan mendaftarkan usaha mereka, semisal mengurus perizinan, mengajukan pembiayaan, atau ingin ikut serta dalam program-program pendampingan mereka tidak lagi kembali mengalami diskriminasi atau hambatan layanan.” ujar Ledia mengakhiri.


0 Komentar