Sabtu, 30 Mei 2020 06:34 WIB

Media Sosial Versus Media Syok Sial

Editor : A. Amir

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Technology "Media Sosial" merupakan fenomena zaman yang berdampak sosial. Mau tidak mau akan tumbuh dan berkembang bagai jamur dimusim hujan, gugur satu tumbuh seribu, pada setiap individu, masyarakat, bangsa atau suatu negara.

Apalagi pada sebuah bangsa yang sedang membangun dirinya dengan menerapkan sistem ekonomi pasar, faktanya terjadi sangat signifikan "Rising Demand," peminat membludak, pesat dan sesak. 

Jadi kita tidak perlu berkeok-keok atau menggonggong-gonggong didalam memberantas "Media Sosial" bernuansa kritik yang dianggap negatif, provokatif, ujaran kebencian dan hoax secara total. Melalui penerapan hukum diera demokrasi dengan bonus demografi, artinya para pengguna media sosial saat ini lebih banyak didominasi oleh kalangan kaum milenial yang penuh dengan kritis.

Karena yang dikriminalkan alam pemikiran, terlebih lagi dipidanakan dengan menggunakan prinsip A.ad Libitium "sesuka hati, mana suka" untuk kepentingan penguasa denganp pilih-pilih tebu dan bisik-bisik tetangga. Itu adalah sebuah keniscayaan, sama saja mengusik rasa ketidakadilan bagi masyarakat.karena demokrasi membutuhkan transparansi, integritas dan akuntabiltas.

Alangkah arif dan bijaknya, jikalau kita mau mencoba memahami bahwa media sosial ini dengan pikiran-pikiran jernih, alias menggunakan akal sehat dan waras agar energi bangsa ini tidak terkuras.

Tentu kita sepakat, bahwa informasi busuk menyesatkan, yang berkembang dan tidak mencerdaskan, patut kita waspadai dan sebisa mungkin dibendung didalam penyebarannya.

Pertanyaannya, mana yang patut harus kita waspadai, apakah "media sosial" para buzzer relawan penguasa sebagai pencitraan, yang justru seharusnya berperan sebagai "Counter-Value" bukan "Counter-Prankster" dan sebagai upaya untuk mereduksi efek-efek negatif. Atau "media sosial ala trompet rakyat, yaitu sebuah reflekesi suara kebathinan rakyat itu sendiri dengan kemurniannya sebagai "Counter-Value" wujud dari perjuangan bambu runcing 1945 yang mengais "keadilan."

Bisa jadi mungkin cermin sosial masyarakat kita yang sudah "defisit akal sehat" yang krisis etika dan moralitasnya karena  terancam "POLDA" alias polisi dapur, dengan perut keroncongan berisikan gembel-gembel demo dengan lagu nyanyian orkes kampungan.

Sadar akan tujuan dan mau menganalisa secara jujur bahwa sesungguhnya telah terjadi kerusakan karakter mentalitas bangsa ini. Akibatnya bangsa kita saat ini menjadi bangsa yang terpuruk, kurang beradab, kurang bermoral, bahkan menyokong moral kejahatan.

Sebuah bangsa yang karakternya rusak, memanifestasikan para pemimpin, elite politik, golongan, yang dekadensi kehilangan patriotisme, nasionalisme tentu harga-diri sebuah bangsa yang memiliki harkat bermartabat yang berdaulat, sesuai pengamalan Pancasila dan UUD 1945. Itulah sejatinya bangsa Indonesia yang berbudi luhur dan tafakur.

Kita sering melihat dan mendengar "mereka" berbicara atas nama rakyat, untuk rakyat dan demi rakyat. Dengan jargon menjual kemiskinan dan penderitaan rakyat tapi hanya untuk menipu sesama. Maka saatnya jangan percaya "politikus busuk" kalau bicara mulutnya bau jamban, bukan harum yang dihasilkan, tapi bau yang memualkan.

Ada juga "mereka" berbicara atas nama agama, dibawah keagungan Tuhan, seolah hanya dirinya saja yang masuk surga. Dengan menjual ayat-ayat suci, dalil dan kaidah-kaidah kebenaran dengan memutar-balikan untuk pembenaran yang keliru. Yang ada hanya sebuah kemunafikan dan penistaan karena sebuah jabatan dan kekuasaan.

Tanpa sadar bahwa bangsa kita saat ini sudah terjangkit epidemi "Virus Hipokritisme" yang penuh kepura-puraan dan kemunafikan, atau "Paradoks Global" yang seolah-olah benar namun secara esensial tidak ada nilai kebenaran hakiki. Hal itu justru lebih berbahaya dari pada virus Covid-19 yang mematikan itu.

Inilah sesungguhnya "revolusi mental" bukan revolusi dangkal yang sering digembar-gemborkan para pesohor yang mabok dan kebanyakan molor.

Jadi jangan sampai technologi, "media sosial" sebagai sarana kreativitas dan aktualisas[ bagi masyarakat, itu justru berubah menjadi media syok-sial. 

Salam jurnalis Perdamaian, (rgds: Ozzy SS. Ketum KWRI/Sekjen Majelis Pers)


0 Komentar