Senin, 30 Maret 2020 12:27 WIB
Pada umumnya pola pikir masyarakat Indonesia terhadap pendidikan paska SLTA masih beranggapan bahwa gelar akademik adalah satu-satunya yang akan membawa masa depan yang cerah dengan menjadi pegawai negeri atau karyawan swasta.
Padahal sejatinya pendidikan tinggi bidang akademik, tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan ilmuwan yang handal ber IQ tinggi, sehingga setelah lulus S1 seyogyanya lanjut S2 dan S3, kemudian menjadi dosen, peneliti atau ilmuwan lainnya yang dalam bekerjanya banyak menggunakan otak kiri dan sedikit otak kanan.
Tapi yang terjadi adalah setelah mereka menyelesaikan S1, mereka mencari pekerjaan bukan lanjut kejenjang magister dan doktor, tentu saja ini tidak sesuai dengan tujuan pendidikan akademik, sehingga ada ketimpangan antara lulusan perguruan tinggi dan lowongan yang tersedia. Hal tersebut dikemukakan oleh Dr. H. Dadang Hermawan, salah satu rektor swasta terkenal di provinsi Bali.
Rektor yang sukses mengangkat pamor Institut Teknologi dan Bisnis Stikom Bali sebagai salah satu perguruan tinggi terbesar dan yang diperhitungkan oleh dunia pendidikan diwilayah Indonesia Timur.
Dalam salah satu wawancaranya yang disampaikan ke tim redaksi tigapilarnews: "Di zaman sudah serba digital, teknologi industri berbasis 4.0, era disrupsi teknologi, perubahannya sangat cepat, saatnya para generasi muda kita khususnya lulusan SLTA tidak lagi mendewa-dewakan gelar sarjana. Yang diperlukan adalah keterampilan atau kompetensi tertentu plus penguasaan bahasa asing yang harus dikuasai oleh para pencari kerja." ujar Dr. Dadang.
Lebih lanjut diterangkan, "di negara kita sudah ada beberapa regulasi mulai dari undang-undang sampai dengan peraturan Menteri yang mendorong berkembangnya pendidikan vokasi."
Pendidikan vokasi sebenarnya sangat cocok untuk kebanyakan mahasiswa Indonesia yang kebiasaannya setelah menyelesaikan kuliah kemudian mencari pekerjaan. Namun karena paradigma berpikir yang masih selalu menginginkan gelar, maka pendidikan vokasi terutama pendidikan tinggi vokasi masih kurang dilirik oleh masyarakat, padahal lulusan Pendidikan Tinggi Vokasi ada gelarnya juga.
Diurai lebih jauh, untuk menjadikan pendidikan vokasi benar-benar digandrungi masyarakat baik oleh calon pencari kerja maupun dunia usaha dan industri, maka peran Dirjen Pendidikan Vokasi, sebaiknya menerapkan langkah-langkah sebagai berikut :
Berbicara masalah pendidikan vokasi dan tentunya berkaitan Dirjen yang membawahinya, menurut Dr. Dadang Hermawan: "Ke depan, dirjen vokasi harus selevel menteri bukan dirjen lagi karena mengurus puluhan juta orang. Ada 14.000-an SMK, 1.400 Politeknik dan Akademi serta Akademi Komunitas dan 10.000-an lembaga kursus. Dan disitu ada puluhan juta orang muda yang akan menjadi generasi penerus kita. Jadi sudah sewajarnya diurus oleh pejabat level menteri yaitu Menteri Pendidikan Vokasi RI."
"Pendidikan vokasi adalah pendidikan yang match dengan industri, sebetulnya konsepnya sudah lama ada tapi eksekusinya masih lambat karena para pengelola pendidikan vokasi termasuk dosen-dosen dan guru-gurunya adalah orang akademisi."
"Jadi salah satu way outnya memperbanyak dosen dan guru vokasi dari industri dengan cara RPL rekognisi pembelajaran lampau. Ini juga sudah ada peraturannya tapi kurang atau bahkan tidak dijalankan."
"Ini harus menjadi perhatian serius pemerintah dan pemangku kepentingan karena inilah pendidikan yang cocok di Indonesia dan juga dunia." pungkas Dr. Dadang.
"Oiya mungkin perlu ditambahkan bahwa Dirjen Vokasi sebaiknya orang swasta yang mempunyai pikiran pendobrak sama halnya Presiden mengangkat Nadiem Makarim sebagai Mendikbud (mengambil contoh)." tutur Dr. Dadang mengakhiri.
Demikian pemaparan yang disampaikan secara singkat dan tidak dapat ditulis semua dalam wawancara ini, dan harapan Dr. H. Dadang Hermawan agar dunia pendidikan Indonesia semakin lebih maju dan berkualitas. (Arfan Amir)