Selasa, 26 November 2019 14:49 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Fadli Zon mengungkapkan terkait dua tahun polemik kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke Indonesia.
Menurutnya, persoalan ini belum kunjung mendapat kejelasan. "Dari beragam pernyataan yang mewakili pihak pemerintah, terdapat sejumlah persoalan yang menghambat kepulangan HRS. Tapi, semua tuduhan tersebut tak ada yang terbukti. Termasuk isu overstay yang sering dijadikan alasan pemerintah, dan dugaan pelanggaran hukum yang HRS lakukan di Arab Saudi," kata Fadli Zon di akun Twitternya, Selasa (26/11/2019).
"Saya berulang kali bertemu HRS di kediamannya di Mekkah dalam kesempatan haji dan umrah. Dia menceritakan dan menunjukkan bukti-bukti bahwa telah berulang kali bermaksud keluar dari Saudi Arabia bersama keluarga," sambungnya.
Fadli menjelaskan, tiket telah dibeli bahkan pernah keluarganya telah keluar lewat imigrasi, tapi HRS tak bisa keluar. HRS menyampaikan niatnya waktu itu untuk menuntaskan program doktoralnya di Malaysia.
"Saya mencatat juga, pada September 2018 sebagai Wakil Ketua DPR, saya menerima pengaduan resmi tim advokat GNPF. Dalam kesempatan tsb, Tim advokat GNPF menyampaikan bahwa pada Juli 2018," ucapnya.
Kata Fadli, HRS dilarang keluar oleh petugas imigrasi Arab Saudi saat hendak ke Malaysia untuk mengurus disertasi S3. Padahal saat itu, HRS memiliki izin tinggal yang masih berlaku.
Herannya menurut Fadli, larangan tersebut belum dicabut, hingga akhirnya visa HRS habis masa berlakunya (overstay). Ada "invisible hand" dibalik kasus HRS yang menghambatnya keluar dari Saudi.
"Pemerintah kemudian menyederhanakan polemik ini, bahwa kendala kepulangan HRS, seperti beberapa hari lalu juga diungkapkan Menko Polhukam Mahfud MD. Berada di sisi pemerintah Arab Saudi dan HRS, bukan pada pemerintah Indonesia. Padahal, pihak Saudi tak berkepentingan terhadap HRS," ujarnya.
"Masalahnya, jika hambatan kepulangan HRS ada di sisi pemerintah Arab Saudi, bagaimana peran pemerintah Indonesia untuk menangani masalah tersebut? HRS bukan warga Saudi," tandasnya.
Mantan Wakil Ketua DPR ini mengatakan, berlarut-larutnya kepulangan HRS dari Arab Saudi ke Indonesia, menurut hematnya mengindikasikan kegagalan diplomasi pemerintah dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.
"Sebagai warga negara Indonesia, merujuk kepada hukum internasional ataupun nasional, HRS yg saat ini berada di Arab Saudi, memiliki hak melekat untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia," katanya.
"Tapi negara abai terhadap hak warganya dan cenderung membiarkan masalah ini berlarut-larut. Padahal sejumlah pejabat tinggi penegak hukum dan intelijen RI sudah beberapa kali menemui HRS beberapa tahun belakangan ini," tambahnya.
Anggota DPR Fraksi Gerindra ini melanjutlkan, dalam hukum internasional, sebagaimana diatur di dalam konvensi Wina 1961 Pasal 3 dan Konvensi Wina 1963 Pasal 5, dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri.
"Protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its national, both individuals and bodies corporate within permitted by international law," jelasnya.
Di level nasional kata dia, ketentuan tersebut tertuang di sejumlah hukum nasional. Pada Undang-Undang (UU) Nomor 37/1999, Bab V Pasal 19(b) yang berbunyi; 'Perwakilan RI berkewajiban: memberikan pengayoman, Indonesia di luar negeri, sesuai d peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.'
"Hal tersebut kemudian diperkuat di dalam Permenlu Nomor 4 Tahun 2008 tentang pelayanan warga pada perwakilan RI di luar negeri. Bahkan Menlu Retno Marsudi dalam rapat perdana dengan Komisi I DPR pekan lalu, menyatakan prioritas politik luar negeri Indonesia akan bertumpu pada prioritas 4+1, di mana salah satu prioritasnya adalah diplomasi perlindungan warga negara," paparnya.(ist)