Sabtu, 04 Mei 2019 04:56 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Rakyat Indonesia kini harap-harap cemas (H2C), menunggu hasil perhitungan suara real count Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 Mei mendatang.
Publik tentu sangat menaruh harapan besar terhadap lembaga penentu nasib bangsa ini, untuk bersikap netral, adil dan jujur, yang diduga syarat memiliki kepentingan tertentu, karena disinyalir telah banyak terjadi kecurangan dan kejahatan secara terstruktur, systematis, massif, dan luar biasa.
Mengingat hampir disana sini telah terjadi masalah dalam penyelenggaraan pemilu, mulai dari surat suara yang sudah tercoblos pasangan 01, data entry yang tidak sesuai C1, kotak suara rusak, pembakaran surat suara, hingga ketidaknetralan para oknum aparat sipil dan Polri.
Bahkan Pemilu kali ini adalah merupakan Pemilu terburuk sepanjang sejarah. Bukan saja itu, yang sungguh sangat memprihatinkan dan memilukan telah memakan banyak korban jiwa. Kian hari kian bertambah dalam jumlah 400an orang, dan berpotensi makin bertambah mengingat masih banyak yang terbaring di rumah sakit karena faktor kelelahan.
Walaupun hal tersebut sebagian ahli medis menilai, masih dalam kajian dan analisa para medis yang mengakibatkan kematian itu, maka kejadian ini bisa dikatakan sebagai "Tragedi Pemilu 2019" dan selayaknya kita sematkan penghargaan dan penghormatan setinggi-tingginya kepada mereka sebagai "Pejuang Demokrasi".
Ketidak percayaan publik terhadap KPU semakin hari semakin menjadi-jadi "Low Trust Society," hujan caci maki hingga sumpah serapahpun tertuju kepada lembaga penentu arah nasib bangsa ini kedepan. Publik menanti "Antara Rumah Idaman dan Rumah Kuburan."
Apa mau dikata.. itulah persepsi yang sudah terbangun dibenak publik.. dan itu yang terjadi, boleh saja KPU mengelak dan mencari alasan, faktanya dilapangan setiap hari publik disuguhkan oleh video berita-berita yang viral dimedia sosial.
Refleksi dan reaksi masyarakat yang penuh perjuangaan serta perlawanan "Heroi," terutama yang sangat mencengangkan, publik sempat terhipnotis oleh hasil lembaga survey yang mengunggulkan Paslon 02, namun dalam hitungan detik saja, lembaga survey tersebut mengunggulan Paslon 01.
Sejuta tanya ada dikepala publik, ada kejanggalan dalam transisi detik demi detik perubahan angka-angka itu ?
Karena lembaga survey dianggap tidak fair alias curang, publik menilai para surveyor yang merupakan bagian timses dan partisan Paslon 01 yang juga petahana. Hal ini menambah sederetan panjang kekisruhan pemilu.
Suka tidak suka cermin sosial masyarakat kita dengan nuansa kebathinan yang sama, tanpa lelah berjuang dengan "intuisi" semangat perjuangan bambu runcing 1945 dengan penuh kesadaran, ketulusan, keihklasan dan kejujuran menuntut keadilan yang sulit dibantah dan tak terhindarkan.
Walaupun beberapa video yang berseliweran didunia maya masih belum diuji kebenarannya atas kejadian tersebut. Namun kejadian demi kejadian telah menggambarkan kecurangan pemilu diberbagai daerah, bak bola salju "Snowball" terus memnggelinding semakin besar semakin menggilas integritas dan kredibelitas KPU.
Hal ini berbeda dan bertolak belakang apa yang tersaji oleh media massa mainstream, yang telah terus menerus menayangkan kemenangan Paslon 01 versi lembaga survey bayaran itu..?
Sehingga mengusik peran lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk bertindak tegas, mengingatkan televisi untuk tidak menyiarkan hasil lembaga survey itu, karena hanya membuat kegaduhan dan kekisruhan dimasyarakat.
Justru disinilah publik diuji kecerdasannya, siapa yang berbohong alias hoax.
Apakah media massa mainstream milik sebagian penguasa dan pengusaha petinggi partai politik itu,byang berafiliasi dan keberpihakan kepada paslon petahana..? atau jurnalisme warga (Citizen Jurnalism) yaitu media-sosial milik rakyat, suara hati-nurani rakyat, para partisan yang memiliki militansi para pejuang keadilan tanpa kenal lelah berpihak pada rakyat untuk rakyat dan demi rakyat..!!!
Bila saja publik sedikit cermat, hoax juga bertebaran di media massa mainstream atas pesanan sponsor.
Hoax yang terus menerus diproduksi oleh lembaga resmi publik itu, yang memiliki potensi penggiringan opini, untuk melegitimasi citra seolah benar dan suci "Frame Capital Social" terhadap publik secara sugestif, justru akan lebih berbahaya ketimbang berita viral dimedsos,
Dibawa sadar bahwa media massa maistream tersebut sudah memanipulasi imaginasi rakyat dan mengkorup kesadaran rakyat, dan ini lebih tepat disematkan sebagai sebagai penjahat intelek dan racun demokrasi, karena berfungsi bukan sebagai madu mencerdaskan melainkan racun mematikan publik.
Seharusnya media seperti ini segera kembali kejalan yang benar dan bertobat sebelum ditinggalkan pemirsa, dan laknat menghampiri atas dosa-dosanya.
Satu hal yang lebih mengusik alam sadar, dan mengusik akal sehat bagi yang waras, terkait keikut sertaan para pemilih; orang yang tidak waras, alias gila yang turut mencoblos dalam jumlah yang tidak sedikit yaitu kurang lebih 54.295 jiwa menurut data KPU.
Hal ini pula yang membuat rakyat semakin bertanya besar, boleh saja KPU berdalih hal itu sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi, namun yang ada diisi kepala publik, bagaimana mungkin orang kelainan jiwa bisa ikut mencoblos, bukankah dalam kitab suci saja orang kelainan jiwa tidak diwajibkan shalat apalagi nyoblos, maupun dalam UUD 1945 juga sudah bertentangan.
Pikiran-pikiran liar yang ada dibenak publik dan bergumam dalam hati, "ada apa di republik ini, siapa yang sinting dan siapa yang waras..?"
Pikiran-pikiran liar itu terus menghampiri ruang publik dan dalam tanda tanya besar..?
Lalu pertanyaannya, bisakah KPU tunjukkan video-video orang kelainan jiwa itu, saat nyoblos memberikan suara di TPS, apakah dengan inisiatif sendiri atau diarahkan mencoblos kesalah satu paslon tertentu, mengingat hasil sementara banyak diberbagai RS Jiwa, Paslon 01 unggul, minimal KPU menyimpan dokumentasinya.
Kita bisa bayangkan jumlah 54.295 orang kelainan jiwa alias tidak waras, alias gila mencoblos, mungkin video tersebut setidaknya bisa menjadi hiburan segar bagi publik dan sekaligus bentuk kesedihan dan keperihatinan ditengah hiruk pikuk kekisruhan Pilpres.
Akumulasi publik atas kecurangan dan kejahatan Pemilu membangkitkan reaksi keras masyarakat diberbagai daerah, sebagai bentuk "Overcompensation", atas ketidak-adilan dan pengkhianatan demorasi, riak-riak masyarakat sebagai bentuk perlawanan bahkan munculnya wacana people power untuk turun kejalan
Hembusan wacana people power "Kekuatan Rakyat" bukan saja omong kosong, karena disebabkan rusaknya proses demokrasi, dimana hak kedaulatan rakyat sudah dinodai, sejarah telah membuktikan, hal itu pernah terjadi diera Presiden-presiden sebelumnya, seperti Presiden Soekarno, Presiden Soeharto hingga Presiden Abdul Rahman Wahid.
Rakyat turun kejalan, hal ini banyak yang dikhawatirkan sebagian masyarakat, setidaknya "Early Warning System."
Hal ini harus disikapi dengan arif dan bijak dan menjadi perhatian dan peringatan dini.
Hal inipun yang terus diperjuangkan rakyat, aktivis, cendikiawan, atas kecurangan dan kejahatan Pemilu itu. Hingga para ulama maupun pihak BPN menggelar ijtima ulama yang III yang berlangsung bertepatan dengan hari buruh sedunia "Mei Day" kemarin.
Kini saatnyalah bangsa Indonesia diuji kesabaran sekaligus komitmen para penyelenggara pemilu untuk tetap menjaga integritas dan kredibelitas agar demokrasi tidak ternodai dan menjadi tumpuan harapan seluruh rakyat, untuk kembali pada Indonesia raya, bermartabat, sejahtera adil makmur dan berdaulat.
"Setiap pemimpin ada masanya dan setiap masa ada pemimpinnya," Salam hormat dan damai untuk rakyat Indonesia: Ozzy SS. Ketua Umum KWRI / Sekjen Mejelis Pers. Kebon Sirih 32-34. Ba'da Jum'at (3/05/2019).