Senin, 10 September 2018 12:07 WIB

Jokowi Diminta Pelajari Sejarah Pemberantasan Korupsi di Korsel

Editor : Rajaman
Joko Widodo (Jokowi). (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa hari kedepan melaksanakan kunjungan kerja  ke dua negara, yakni Korea Selatan dan Vietnam. Di sana Korsel, Presiden Jokowi bersama Presiden Moon Jae-In akan membahas penguatan kerja sama kedua negara di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

Untuk di Korsel, Presiden Jokowi bersama Presiden Moon Jae-In akan membahas penguatan kerja sama kedua negara di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

Mendengar kabar keberangkatan Presiden Jokowi ke negeri gingseng tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah pun berpesan kepada Jokowi agar mempelajari sejarah pemberantasan Korupsi di Korsel, khususnya sejarah KICAC (Korean Independent Commision Against Corruption), lalu diganti ACRC (Anti Corruption and Human Right Commision) gabungan banyak lembaga termasuk Ombudsman itu.

"Bapak Presiden Jokowi tidak boleh terlalu lama membiarkan negara dalam keadaan 'darurat korupsi', seperti tuduhan selama ini. Karena kalau tuduhan itu benar, maka artinya presiden gagal memberantas korupsi. Presiden akan ditagih rakyat. Maka sekarang ambillah keputusan yang radikal," kata Fahri saat dihubungi wartawan, Senin (10/9/2018).

Politisi PKS itu menyebut, hanya di Indonesia saja darurat korupsi menjadi kesibukan satu lembaga, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Bahkan, presiden sendiri tidak menyebut darurat melihat begitu merata 'tangkapan KPK', sehingga semua partai dapat disebut sebagai lumbung koruptor menurut cap yang dibuat lembaga antirasuah itu.

"Terakhir KPK menangkap hampir semua anggota legislatif kota Malang. Lalu, mempersoalkan tiket Asian Games 2018, tapi diam setelah dibantah wakil presiden. Jadi hanya di Indonesia definisi korupsi masih kita sengketakan. Bagaimana bisa kita selesaikan?" ujar Fahri.

Lanjut Fahri, dari semua negara yang ia pelajari, Korsel paling baik jadi contoh Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Pembubaran KICAC dan diganti oleh ACRC adalah karena ekonomi yang terganggu. Manuver KICAC bikin rusak iklim usaha dan kebebasan sipil. Maka anti korupsi digabung dengan HAM.

"Sementara di kita aneh, tidak ada koordinasi. Definisi korupsi saja nggak jelas. Ada lembaga sibuk sendiri yang lain menonton dan lebih baik menghindar. Akhirnya sejak 2002 (persis sama dengan tahun berdirinya KICAC) di Indonesia berkembang suasana tidak pasti," sebut dia.

Sementara itu, masih menurut Fahri, evaluasi atas Undang-Undang yang sudah berumur 16 tahun terus ditentang. Bahkan, usulan amandemen terhadap konstitusi, seperti mau mengubah kitab suci.

"Demonstrasi dikerahkan dan ancaman dilayangkan 'koruptor menyerang balik'. Jadilah ia lembaga suci yang tidak boleh diganggu gugat," sindir anggota asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu lagi.

Namun, lanjut Fahri, semuanya terserah Presiden Jokowi yang pasti melihat pelambatan ekonomi. Dan, akhirnya pemerintah mencabut subsidi, hutang ke luar negeri, proyek dikerjain sendiri dan BUMN disuruh ngutang bunga tinggi. Mungkin, nanti BUMN bisa-bisa dijual ke luar negeri.

"Ini semua karena ketidakpastian hukum. Sambil pak Jokowi berpikir, teken saja kerjasama dan ikut saja pola Korea Selatan. Gak usah malu untuk kebaikan negeri. Lihat Korsel itu, industri hidup, kelas menengah tumbuh. Kita merdeka bareng, bikin KPK bareng tapi hasil lain. Kenapa? Karena mereka mau koreksi," cetusnya.

Tambah Fahri, bangsa Indonesia berkejaran dengan waktu. Sementara Korea Selatan tambah menguasai industri dunia, mulai soal otomotif, elektronik dan digital media, sampai K-POP dan restoran di mana-mana.

"Eh kita sibuk tangkap pencuri. Dan dianggap prestasi. Tambah banyak dianggap tambah sukses," sindir Fahri Hamzah.

Seperti diketahui, Presiden Jokowi berkunjung ke dua negara, yakni Korea Selatan dan Vietnam, untuk membahas kerjasama bidang ekonomi di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu.

Kunjungan ke Seoul merupakan kunjungan balasan Presiden Korea Selatan, Moon Jae-In ke Indonesia pada tahun 2017 lalu. Kunjungan ini juga bertepatan dengan 45 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Korea Selatan, di mana kedua negara telah memiliki Special Strategic Partnership.

Turut mendampingi Presiden dalam penerbangan ke Seoul, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Kepala BKPM Thomas Lembong, Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono, Sekretaris Militer Presiden Marsda TNI Trisno Hendradi, Kepala Protokol Negara Andri Hadi, Staf Khusus Presiden Ari Dwipayana, Sekretaris Pribadi Presiden Anggit Noegroho, dan Komandan Paspampres Mayjen TNI (Mar) Suhartono.


0 Komentar