Kamis, 06 September 2018 06:42 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Politikus Partai Golkar Firman Soebagyo mempertanyakan kebijakan impor gula dilakukan Kementerian Perdagangan (Kemendag) pada tahun 2018.
Menurutnya, sisa stok gula awal tahun 2018 dengan 1 juta ton Gula Kristal Putih (GKP) lalu mengimport kembali untuk ditahun yang sama Gula Kristal Rafina (GKR) 1 juta ton dan berlanjut ke termen ke-2 sudah diminta lagi Import 1,8 juta ton untuk GKR tahun 2018 GKR di rencana Import sebesar 3.6 juta ton patut dipertanyakan.
Firman melanjutkan, sementara kebutuhan untuk industri makanan dan minuman (mamin) akan GKR hanya sebesar 2,4 sampai dengan 2,5 juta ton. Jadi kelebihannya akan mendistorsi pasar komsumsi.
Apalagi, produksi Gula Putih Kristal (GKP) dari tebu petani Indonesia tahun 2018 di perkirakan 2.2 juta ton sedangkan kebutuhan nasional 2,8 juta ton kalau di total dengan sisa GKP 2017 di awal 2018 1 juta ton maka GKP tahun 2018 sebesar 3.2 juta ton jadi jika di komsumsi tahun 2018 sudah berlebih sebesar 400.000 ton. dan jika di tambah dengan rembesan GKR ke pasar komsumsi kurang lebih 1 juta ton sehingga kemungkinan surplus gula sebesar 1.4 juta ton .
"Anehnya tahun 2018 justru melalui kemendag akhir Maret tahun ini sudah import 1,1 juta ton untuk GKP penunjukan dan yang menggiling kebanyakan PG2 Rafinasi serta import 150.000 ton untuk Inkopol sehingga menambah besar jumlah GKP th 2018 dan di karenakan Import GKP penunjukan yang konon katanya untuk bufer stok awal tahun 2019 tetapi nyatanya justru sudah beredar mulai April 2018 sehingga produksi gula Petani tidak laku di pasar dan atau produksi gula nasional menumpuk di gudang-gudang hal itu yang menjadi pertanyaan," jelas Firman saat dihubungi, Kamis (6/9/2018).
Sebelumnya, Kasus rembesan gula rafinasi impor ke pasar tradisional (becek) menjadi masalah klasik yang belum bisa ditangani sepenuhnya oleh Kementerian Perdagangan. Buktinya, kasus ini rutin terjadi setiap tahun.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Veri Anggriono mengungkapkan Kemendag tengah menyusun cara baru untuk mencoba menutup celah rembesan gula rafinasi. Dengan upaya ini diharapkan rembesan gula rafinasi bisa ditekan.
"Kami mau supaya masalah ini tidak berlarut-larut dan selalu saja ditemukan kasus seperti ini. Kita akan buat perantara sejenis distributor tapi sedang disusun bersama Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN)," ungkap Veri saat ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (4/9).
Dari beberapa kasus yang terjadi, Veri menyatakan pelaku rembesan gula rafinasi di pasar becek justru dilakukan oleh industri makanan dan minuman (mamin) bukan importir. Skema pembelian gula rafinasi dari importir ke industri mamin menggunakan sistem beli putus.
"Importir itu kan jual ke industri mamin tadi. Mereka (importir) itu enggak punya kapasitas untuk memeriksa berapa sih jumlah kebutuhan gula rafinasi oleh industri itu. Sepanjang kalangan industri ini mengajukan pembelian dengan dokumen izin industri yang lengkap, ya sudah mereka kasih. Dan itu putus di situ," tuturnya.
Sehingga yang terjadi adalah importir tidak mau disalahkan dari kasus rembesan gula rafinasi.
"Mereka (importir) protes begini, Pak, kami sudah jual ke industri mamin. Ya sudah," tutupnya.
Sebagai catatan, Kemendag pernah mendata bahwa tiap tahun ada sekitar 300 ribu ton gula rafinasi yang bocor. Agar tidak terjadi kebocoran, Kemendag sudah berupaya keras meningkatkan pengawasan terutama saat gula rafinasi didistribusikan.
Bila masih ditemukan adanya rembesan gula rafinasi ke pasaran, Kemendag akan menelusuri untuk mengetahui perusahaan mana yang sengaja menjual gula rafinasi di pasar umum. Sanksi tegas akan diberikan seperti pencabutan izin usaha, masuk daftar hitam serta tak lagi mendapatkan jatah impor gula.