JAKARTA, Tigapilarnews.com- Gelombang protes Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI) terkait aturan baru Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) terus bergulir.
Pembatasan tindakan fisioterapi merupakan satu dari tiga layanan yang masuk dalam Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan, BPJS Kesehatan.
Setelah IFI Pusat dan beberapa daerah tanpa lelah, kali ini protes keras datang dari Pengurus Daerah (Pengda) DKI Jakarta. Mereka bersama PC IFI se-Jakarta dan Ketua Komisariat Fisioterapi di RSUP/RSUD/RS Swasta yang terdampak layanan BPJS, meyatakan keberatan dan menolak penerapan peraturan tersebut dalam pemberian pelayanan/tindakan fisioterapi kepada masyarakat.
"Kita kumpulkan fisioterapi se-Jakarta ingin beritahu jika layanan fisioterapi yang kita berikan ke masyarakat ini tidak betul. Karena tidak efektif dan efisien. Kami akan aksi, tapi yang positif. Sebab dalam pelayanan harus melewati dokter spesialis rehabilitasi medik. Sehingga ada dobel cas atau dua kali pembayaran. Kita ingin membantu supaya pemerintah mendapat input pelayanan BPJS jika selama ini banyak yang tidak tepat guna, tidak efektif karena diperaturan BPJS disebutkan untuk pelayanan rehabilitasi harus dilakukan dokter spesialis rehabilitasi," kata Ari Sudarsono, Ketua Pengda IFI DKI Jakarta, usai melakukan rapat koordinasi di Klinik Bains Physio, Cilandak KKO Komplek Vico, Jakarta Selatan, Minggu (29/07/2018) siang.
"Padahal direhabilitasi ada pelayanan psikologi, harusnya psikolog yang melakukan. Pelayanan fisio, maka fisioterapi yang melakukan, ada juga pelayanan pembuatan alat palsu atau ganti, harusnya yang melakukan seorang astetik, bukan semuanya dokter rehabilitasi. Peraturan BPJS mengatakan jika semua itu dilakukan dokter spesialis rehabilitasi. Akhirnya yang terjadi di lapangan, dokter yang dapat jasa pelayanan tanpa melaukan apa-apa. Artinya kita juga ingin menyelamatkan uang negara. Kita ingin memberitahu ke pemetintah kalau pelayanan BPJS tidak tepat guna. Utamanya terkait Permenkes No 28 tahun 2014 dan Peraturan Direktur Jampelkes BPJS No 5 tahun 2018," ujarnya didamping Ketua Umum IFI Pusat, Ali Imron.
Lebih jauh dikatakan Ari, pemerintah sangat dirugikan karena boros, rakyat juga dirugikan karena harus antri dari subuh untuk dapat pelayanan tapi sayangnya itu tidak maksimal. "Kita ingin bantu menyelamatkan BPJS yang berdasarkan audit tahun 2017 terlilit utang Rp9 triliun dan kerugiannya akan terus membengkak kalau tidak ditata," urainya.
Akibat peraturan BPJS Kesehatan yang tidak mengakomodasi fisioterapi dan prosedur dipersulit, fisioterapis di seluruh Indonesia tidak melayani pasien BPJS Kesehatan. Hal tersebut berdasarkan instruksi penghentian pelayanan fisioterapi bagi pasien dengan jaminan BPJS Kesehatan N0.161/SUM/PP-IFI/VII/2018.
Sejauh ini, Imron menambahkan jika fisioterapis tetap memberikan pelayan terbaik sesuai standar profesi dan standar pelayanan fisioterapi bagi pasien yang tanpa jaminan BPJS. Saat ini, jumlah fisioterapis di Indonesia sekitar 12 ribu orang dan yang di luar rumah sakit hanya sekitar 10 persennya.
Diungkapkan, adanya instruksi fisioterapis tidak melayani pasien BPJS Kesehatan ini sehubungan dengan telah terbitnya Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan BPJS Kesehatan Nomor 05 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan yang hanya mengakomodasi dan membutuhkan peran dokter SpKFR Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Medik pada pelayanan rehabilitasi medik.
Lebih lanjut Imron mengemukakan, Peraturan Nomor 05 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan yang di dalam lampiran mengatur tindakan fisioterapi tidak sesuai dengan standar pelayanan fisioterapi. Sehingga, dapat berakibat pada tidak adanya perlindungan hukum terhadap fisioterapis yang memberikan pelayanan (UU Nomor 36 Tahun 2014 Pasal 57 butir a).
Kewajiban untuk memberikan pelayanan sesuai dengan standar profesi diamanatkan dalam UU Nomor 36 Tahun 2009, UU Nomor 36 Tahun 2014, dan UU Nomor 44 Tahun 2009. Menurut Imron lagi, fisioterapis tidak memberikan pelayanan fisioterapi bagi pasien dengan jaminan BPJS (dengan atau tanpa dokter SpKFR) sampai batas adanya kejelasan pelayanan fisioterapi dapat diterapkan sesuai standar profesi dan standar pelayanan fisioterapi.
Menurutnya, harapan dari kalangan fisioterapis adalah prosedur diubah, yakni dari dokter spesialis langsung ke fisioterapi tanpa wajib melalui spesialis rehabilitasi medis sebagaimana dalam aturan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 65 Tahun 2015 tentang Standar Pelayanan Fisioterapi.
"Ini tanggung jawab moril, karena itu kami terus berjuang. Jangan sampai kami dinilai tidak punya hati karena dianggap tidak mau melayani pasien. Selanjutnya kami akan audiensi denga DPR," ujarnya.
Sebagai catatan, rapat koordinasi di Klinik Bains Physio di antaranya dihadiri para fisioterapi asal Medistra, RS Islam, RS Omni, Hermina Grup, Fatmawati, Jantung Harapan Kita, RSCM, RSPAD, RSUD Koja, RSUD Pondok Kopi, RSUD PS Rebo, RS Haji dan Setia Mitra.(exe)