Jumat, 20 Juli 2018 00:17 WIB
Jerusalem, Tigapilarnews.com - Parlemen Israel, Knesset, mengesahkan undang-undang penetapan negara Yahudi, Kamis pagi (19/7/2018).
Penetapan aturan itu dikhawatirkan sejumlah pihak semakin mengarah pada diskriminasi bagi bangsa Arab di Israel.
Undang-undang ini menjadi bagian dari dasar hukum negara yang berfungsi sebagai konstitusi de facto.
"Ini adalah momen menentukan dalam sejarah negara Israel, dimana bahasa, lagu kebangsaan, dan bendera kita dituliskan di dalam konstitusi," kata Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di gedung parlemen.
UU itu disahkan dengan dukungan suara 62-55. Aturan baru tersebut menjadikan Bahasa Ibrani sebagai bahasa nasional dan menetapkan pembentukan komunitas Yahudi sebagai salah satu kepentingan nasional.
Setelah pemungutan suara, beberapa anggota Parlemen Arab meneriakkan “apartheid” selama pidato Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Sementara itu, Bahasa Arab, yang sebelumnya juga dianggap sebagai bahasa resmi negara, kini hanya diberikan status khusus dalam undang-undang tersebut.
Hukum tersebut juga menetapkan Israel sebagai Tanah Air bersejarah bangsa Yahudi dan menyatakan bahwa kaum Yahudi memiliki hak menentukan nasib sendiri di wilayah mereka.
Undang-undang tersebut menghapus klausul kontroversial yang sebelumnya diajukan setelah memicu kritik dari oposisi bahkan Presiden Rauven Rivlin. Klausul tersebut berisikan gagasan yang secara spesifik hanya melegalkan pembentukan komunitas Yahudi di Israel.
Dikutip AFP, sejumlah anggota parlemen keturunan Arab dan Palestina menentang pengesahan UU tersebut dengan menyebut aturan itu sebagai hukum yang "rasis".
Penolakan oposisi terhadap pengesahan UU tersebut memicu perdebatan pelik di parlemen. Beberapa dari mereka bahkan merobek salinan rancangan UU tersebut tak lama setelah ketua Knesset mengetuk palu.
Pemimpin aliansi bangsa Arab di Israel, Arab Joint List, Ayman Odeh, menganggap pengesahan UU tersebut sebagai "kematian demokrasi di Israel".
Kritikan juga datang dari sebuah pusat hukum buat masyarakat minoritas Arab di Israel, mencela undang-undang tersebut. Direktur Jenderal Adalah, Hassan Jabareen, mengatakan di dalam satu pernyataan bahwa undang-undang itu “berisi unsur penting apartheid, yang bukan hanya tak bermoral tapi juga sama sekali dilarang berdasarkan hukum internasional”.
Menurut Jabareen, “dengan menetapkan kedaulatan dan demokrasi pemerintah sendiri sebagai satu-satunya milik rakyat Yahudi, Israel telah membuat diskriminasi di dalam nilai undang-undang dasarnya dan telah mengakui komitmen untuk mendukung supremasi Yahudi”.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Saeb Erekat, menganggap UU itu sebagai "hukum rasis dan berbahaya" yang secara resmi "melegalkan sistem apartheid" di Israel.
Sekitar 17,5 persen dari total 8 juta warga Israel merupakan bangsa keturunan Arab. Jauh sebelum UU ini disahkan, warga minoritas Arab dan Palestina di Israel kerap mengeluhkan berbagai macam bentuk diskriminasi yang mereka terima.