Senin, 19 Maret 2018 19:30 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Komnas HAM menilai kegagalan Presiden Jokowi dalam menyelamatkan TKI dari hukuman pancung di Arab Saudi gara-gara RI tak konsekuen.
RI minta warganya tak dihukum mati, namun di dalam negeri, RI masih menerapkan hukuman mati.
"Satu pemerintah harus lebih tegas. Kedua, pemerintah harus menghapus hukuman mati kalau mau diplomasinya kuat," kata komisioner Komnas HAM, Mochammad Choirul Anam, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (19/03/2018).
Akhir tragis, Zaini dieksekusi pancung pada Minggu (18/3) kemarin. Bahkan Pemerintah Indonesia tak diberitahu secara resmi sebelum eksekusi dilaksanakan.
Sudah tiga kali Presiden Jokowi melobi Saudi agar TKI bernama Muhammad Zaini Misrin Arsyad terhindar dari pemancungan. Pertama, Jokowi menyampaikan permohonan ini ke Raja Salman di Jeddah pada 2015.
Kedua, Jokowi memohon kembali saat Raja Salman ke Indonesia pada Maret 2017. Pada November, Jokowi mengirim surat permohonan ke Pemerintah Saudi agar Zaini dibebaskan.
Chorul Anam menilai diplomasi RI supaya warganya dihindarkan dari eksekusi mati selaku gagal karena Indonesia juga menerapkan hukuman mati.
Ini menjadikan diplomasi Indonesia berwajah dua. Lain halnya bila Indonesia tak menerapkan hukuman mati, maka negara yang diajak diplomasi bakal berpikir ulang.
Selain itu, Choirul menilai upaya Indonesia perlu ditingkatkan dalam memanfaatkan kelonggaran pemerintah Saudi lima tahun belakangan ini.
Bila dulu hukuman mati sangat bergantung pada persetujuan ahli waris korban, kata Choirul, kini Pemerintah Saudi bisa mewakili menjadi ahli waris korban.
Dia mencontohkan Filipina. Negara itu keras sekali memprotes suatu negara yang hendak mengeksekusi mati warganya. Bahkan Filipina mengancam bakal menarik semua warga negaranya dari negara yang bakal mengeksekusi mati warga Filipina.
"Diplomasinya perlu keras seperti Filipina. Singapura dan Malaysia juga keras saat warganya terancam hukuman mati," ujarnya.
"Filipina juga menghapus hukuman mati sejak era Aroyo (Presiden Gloria Macapagal Aroyo)," sambung Choirul.
Sebelumnya, Migrant Care juga mengungkapkan pandangan yang senada. Migrant Care menilai hukuman mati yang berlaku di Indonesia seharusnya ditiadakan. Dengan adanya hukuman mati di Indonesia menyulitkan pemerintah sendiri dalam membebaskan WNI yang tersangkut hukuman mati di negara lain.
"Mungkin mengusahakannya kurang keras ya. Karena selalu alasannya seperti 10 atau 20 tahun lalu: kasus seperti ini tergantung ahli warisnya. Tapi lima tahun terakhir, Raja Saudi membuat terobosan yang memungkinkan kasus itu diambil alih oleh negara. Itu harus dijadikan kesempatan oleh Indonesia," kata Choirul.
"Kita mendesak negara lain untuk membebaskan warga negara kita yang terancam hukuman mati tetapi Indonesia sendiri masih mengeksekusi mati. Jadi itu juga menjadi halangan bagaimana kita bisa membebaskan warga negara kita yang terancam hukuman mati," kata Ketua Pusat Studi Migrasi Migran Care, Anis Hidayah, di Kantor Migrant Care, Jakarta.(exe/ist)