Kamis, 30 November 2017 06:51 WIB

Jelang Sidang Praperadilan Setnov, Hakim Diminta Profesional

Editor : Rajaman
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Menjelang sidang Pra Pradilan Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Ketua DPR RI, Setya Novanto yang akan digelar hari ini, Kamis (30/11/2017) di Pengadilan Negri Jakarta Selatan, Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah meminta majelis hakim agar tidak mengikuti opini publik tetapi harus profesional dalam memutus perkara.

“Janganlah kita menghukum orang yang tidak bersalah hanya karena tirani opini publik, Janganlah menghukum seseorang karena kuatnya tuntutan untuk memberantas tindak pidana korupsi, sehingga apapun yang dikatakan KPK tentang kejahatan yang dituduhkan pada dirinya kita terima sebagai kebenaran,” katanya Fahri saat dihubungi.

Selain itu Fahri juga mengatakan persidangan ini harus menjadi momentum untum merestorasi konsevsi negara hukum Indonesia, bahwa Hukum itu sangat tergantung kepada apa yang tertulis dan apa yang menjadi undang undang yang berlaku secara formil, hukum tidak boleh dikotori oleh sensasi atau persefsi yang dibangun oleh ruang publik.

"Hukum itu harus dikembalikan kepada patsun–patsun dasarnya, dia harus jelas dan harus rijid.krn disutulah beda hukum dan jurnalisme. Jurnalisme itu melibatkan banyak persefsi, tetapi hukam tidak boleh melibatkan banyak persefsi, tapi apa yang menjadi fakta yang ada," terangnya.

Kalau untuk kasus e-KTP itu, lanjut Fahri, dirinya hanya ingin bertanya, bagaimana cara Rp 2,3 Triliun itu menjadi kerugian negara, bagaimana cara menghitungnya, dalam metode apa, siapa yang menghitingnya , bagaimana metode menghitungnya,dan mana surat keputusan tentang perhitungan itu.

"Kalau itu tidak ada maka ini semua hanyalah sensasi belaka yang tidak bertanggung jawab, dan sudah merusak dan mencemari lembaga DPR tapi pada kenyataannya tidak ada, maka siapa yang melakukan ini harus bertanggungjawab , dan telah melakukan pembohongan publik jika tidak bisa membuktikan.” tutupnya.

Novanto mengajukan gugatan praperadilan pada 15 November 2017, pasca ditetapkan kembali menjadi tersangka kasus e-KTP.

Praperadilan ini merupakan kali kedua untuk Novanto. Novanto pernah berhadapan dengan KPK di praperadilan sebelumnya. Pada praperadilan sebelumnya, ia memenangkan gugatan dan status tersangkanya dibatalkan. 

KPK kemudian menetapkan Novanto menjadi tersangka pada kasus yang sama. 

Dalam kasus e-KTP, KPK menduga Novanto bersama sejumlah pihak menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Adapun sejumlah pihak itu antara lain Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudihardjo, pengusaha Andi Agustinus atau Andi Narogong, dua mantan Pejabat Kemendagri Irman dan Sugiharto.

Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan saat menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar. Bersama sejumlah pihak tersebut, Novanto diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun, dari nilai paket Rp 5,9 triliun.

Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.


0 Komentar