Sabtu, 02 September 2017 14:24 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (PP Fatayat NU) menyerukan PBB melalui Dewan Keamanan PBB (UN Security Council), Komisi HAM PBB (United Nations Commissions on Human Rights/UNCHR), United Nations Children Fund (UNICEF), dan Commission on the Status of Women (CSW) PBB bertindak dan bekerja cepat melindungi dan memberikan pelayanan para korban tragedi kemanusiaan di Rakhine, Rohingya, Myanmar, sesuai peran dan fungsinya masing-masing, terutama dalam mencegah meluasnya kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Hal ini disampaikan Ketua Umum Fatayat NU Anggia Ermarini menanggapi tragedi kemanusiaan Rohingya terjadi di Myanmar.
"PP Fatayat NU meminta Dewan Keamanan PBB dan negara-negara ASEAN memberi sanksi tegas terhadap pemerintah Myanmar, baik sanksi yang berlaku di kawasan regional maupun global," kata Anggia dalam keterangan pers, Sabtu (2/9/2017).
Anggia pun meminta ada skala prioritas dalam perlindungan terhadap warga maupun pengungsi Rohingya, yakni mengutamakan perempuan dan anak, terutama dalam penyediaan makanan, pakaian, obat-obatan, layanan psikiater untuk trauma healing, serta pendidikan darurat bagi anak-anak Rohingya.
Disisi lain, pihaknya juga mendorong para stakeholder nasional dan global untuk membawa tragedi kemanusiaan dan pembasmian etnis Rohingya ke Mahkamah Internasional, serta mengawal kasusnya hingga tuntas agar memberikan efek jera (deterrent effect) bagi Myanmar, dan di masa depan tidak terulang lagi kekejaman serupa di belahan dunia manapun dengan alasan apapun.
Lebih lanjut, Anggia menilai, semua stakeholder perlindungan perempuan dan anak, mulai dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, KPAI, Komnas HAM, Komnas Perempuan, dan masyarakat luas dapat secara serius mengawal isu kemanusiaan di Myanmar pada tataran yang lebih kongkrit, sinergis, easy to execute, dan berpengaruh secara global, terutama terhadap mitra kerja masing-masing di tingkat regional dan internasional untuk mencegah kasus-kasus serupa terulang kembali.
"PP Fatayat NU mendorong para stakeholder perlindungan perempuan dan anak, organisasi berbasis perempuan, organisasi berbasis anak, mahasiswa, serta masyarakat luas ikut mengampanyekan Save Rohingya, Stop Massacre, Slaughtering, and Violence in Rohingya, kepada segenap masyarakat dunia," ujarnya.
Untuk itu, PP Fatayat NU mendorong inisiatif multilateral serta pertemuan khusus negara-negara ASEAN untuk sesegera mungkin menyalurkan bantuan kemanusiaan, menyediakan shelter dan kawasan pengungsian layak huni bagi puluhan ribu warga Rohingya, terutama Bangladesh sebagai negara terdekat pengungsi.
"Kami mengajak segenap masyarakat ASEAN, terutama para pengambil kebijakan di masing-masing negara, organisasi perempuan, dan komunitas perdamaian dunia untuk menginisiasi gagasan "ASEAN Initiatives for Rohingya", yang bermuara dan bertujuan mengawal penghentian segala bentuk kekerasan pada warga Rohingya. Targetnya: Zero Violence and No Tolerance on Rohingya's Violences under any circumstances," tegas Anggia.
PP Fatayat NU, tambah Anggia mengajak tokoh-tokoh lintas agama dapat lebih masif menolak segala bentuk kekerasan di Rohingya, Myanmar, dan menetralisir segala bentuk berita hoax yang berpotensi mengadu domba masyarakat antar agama, terutama antara Islam dan Budha.
Sebelumnya diberitakan, Sebuah laporan dari para aktivis menyebut pasukan keamanan Myanmar melakukan pembantaian etnis Muslim Rohingya secara besar-besaran dalam sepekan. Dalam laporan disebutkan, sekitar 130 orang, termasuk wanita dan anak-anak Rohingya dibunuh.
Pembantaian massal seperti dilaporkan ABC Jumat (1/9/2017) dengan mengutip dua sumber terpisah, terjadi di Desa Chut Pyin, dekat Kota Rathedaung, Myanmar barat.
”Sejauh ini laporan—menurut saya cukup kredibel—menyebutkan sekitar 130 orang termasuk wanita dan anak-anak terbunuh,” kata Chris Lewa, Direktur The Arakan Project, lembaga kemanusiaan yang bekerja dengan komunitas Rohingya.
"Itu terjadi pada hari Minggu ketika pasukan keamanan tiba-tiba mengepung seluruh wilayah, bersama dengan penduduk desa Rakhine, sepertinya ini adalah pembantaian besar-besaran di Rathedaung,” kata Lewa.