Jumat, 21 Juli 2017 17:31 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - DPR telah mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang lewat mekanisme voting dalam sidang Paripurna. Sejumlah pihak yang tidak terima dengan pengesahan itu direncanakan akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah yakin MK bakal membatalkan RUU Pemilu yang baru disahkan tersebut.
"Kalau kemudian di tingkat bawah, tingkat masyarakat akan ada yang judicial review itu pasti terjadi. Dan, saya punya perasaan bahwa itu bisa menang," kata Fahri di gedung DPR, Jumat (21/7/2017).
Fahri mengatakan, penolakan gugatan terhadap Undang-Undang Pemilu, terutama terkait dengan pengesahan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen, merupakan hal yang wajar. Apalagi, fraksi yang menolak pengesahan itu cukup banyak.
"Empat dari sepuluh fraksi," kata dia.
DPR mengesahkan UU Pemilu dalam Rapat Paripurna DPR RI, Kamis (21/7/017) malam. Sebanyak enam fraksi partai politik yang mendorong dilakukannya voting menyetujui pilihan Paket A dengan presidential threshold 20 persen perolehan suara dan/atau 25 persen kursi di parlemen.
Empat fraksi lainnya, yakni Gerindra, Demokrat, PAN, dan PKS menolak voting dan memilih walk out dari persidangan. Sejumlah pihak juga berencana melakukan uji materi ke ke Mahkamah Konstitusi (MK). Khususnya, terkait aturan pasal ambang batas pencalonan presiden 20 persen.
Menurut politikus PKS itu, konsep ambang batas pencalonan presiden bertentangan degan prinsip pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Apalagi, dalam UU Pemilu terbaru, perolehan suara pada pemilu sebelumnya menjadi syarat pemilu yang akan datang.
Menurut dia, kondisi itu berpotensi menciptakan ketidakpastian politik. Bahkan, manajemen politik menjadi tidak bisa terkendali. Sebab, ada kemungkinan partai pemenang Pemilu 2019 justru tidak bisa mencalonkan presiden.
Dia menerangkan, ketika ada partai yang pada pemilu tahun ini mendapat perolehan suara 30-40 persen. Namun, dia tidak bisa mengajukan calon karena hasil perolehan suara pada pemilu sebelumnya tidak mencapai ambang batas.
Kemudian, partai itu bisa berkampanye bahwa lima tahun lagi mereka akan punya calon sendiri. "Itu bisa menciptakan instabilitas politik sebab partai yang memperoleh lebih dari 20 persen itu bisa men-challenge pemerintahan yang ada bahwa dia punya kandidat alternatif untuk lima tahun lagi," kata Fahri.
Fahri mengungkapkan sebenarnya ada banyak catatan terhadap opsi presidential threshold 20 persen. Dia mencontohkan opsi ini disebut sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) atau norma yang sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembuat undang-undang.
Namun, menurut dia, kebijakan hukum mengenai norma itu sudah ditetapkan melalui putusan MK yang menyerempakkan penyelenggaraan pilpres dan pileg. "Pilpres dan pileg serempak sehingga tidak ada threshold. Itu dugaan saya yang menyebabkan kemungkinan besar ini dimenangkan oleh MK," kata Fahri.