Selasa, 18 Juli 2017 12:28 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Anggota DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani enggan mengomentari soal penetapan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek e-KTP.
"No comment, bukan partai saya soalnya," kata Miryam di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (18/7/2017).
Miryam dalam perkara ini didakwa memberikan keterangan palsu saat persidangan perkara dugaan tipikor pengadaan e-KTP dengan cara mencabut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) pada tahap penyidikan.
Sementara pada Senin (17/7/2017), KPK mengumumkan Setnov yang saat ini menjadi Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar sebagai tersangka keempat dalam kasus e-KTP.
Setnov yang saat penganggaran dan pelaksanaan e-KTP itu berlangsung pada 2011-2012 menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, berperan melalui seorang pengusaha bernama Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Sejak awal saya tidak tahu dan tidak pernah menyebut Setnov. Sejak awal, tidak ada itu. Partainya saja beda bagaimana ceritanya bos? Partai saya Hanura, Pak Setnov partai Golkar, rapat saja tidak pernah dan tidak satu komisi," tambah Miryam.
Ia juga mengaku tidak pernah ada pertemuan dengan Setnov.
Hari ini seharusnya Miryam menyampaikan nota keberatan (eksepsi), tapi sidang ditunda karena ketua majelis hakim Frangki Tambuwun harus pergi keluar kota.
"Sidang hari ini ditunda ya karena ketua majelisnya sedang ada musibah, berduka, Senin (24) katanya dilanjut," ungkap Miryam.
Dalam sidang, anggota majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar menyatakan hakim Frangki pergi ke Manado sejak Senin (17/7/2017).
"Ketua majelis perkara ini, Pak Frangki Tambuwun harus berangkat ke Manado kemarin, mengingat Pak Frangki adalah ketua majelis dan tidak bisa digantikan, maka terpaksa persidangan kita 'rescedhedule' sampai tanggal 24 Juli," kata Jhon.
Dalam perkara ini, Miryam didakwa memberikan keterangan yang tidak benar dengan sengaja memberikan keterangan dengan cara mencabut semua keterangannya yang pernah diberikan dalam BAP penyidikan yang menerangkan antara lain adanya penerimaan uang dari Sugiharto dengan alasan pada saat pemeriksaan penyidikan telah ditekan dan diancam oleh 3 orang penyidik KPK padahal alasan yang disampaikan terdakwa tersebut tidak benar. Pencabutan BAP itu terjadi dalam sidang pada Kamis, 23 Maret 2017.
Selanjutnya pada Kamis, 30 Maret 2017 JPU menghadirkan kembali Miryam di persidangan bersama 3 penyidik yaitu Novel Baswedan, MI Susanto dan A Damanik. Ketiga penyidik itu menerangkan bahwa mereka tidak pernah melakukan penekanan dan pengacaman saat memeriksa terdakwa sebagai saksi, lebih lanjut diterangkan dalam 4 kali pemeriksaan pada 1, 7, 14 Desember 2016 dan 24 Januari 2017 kepada terdakwa diberi kesempatan untuk membaca, memeriksa dan mengoreksi keerangannya pada setiap akhir pemeriksaan sebelum diparaf dan ditandatangani Miryam.
Setelah mendengar keterangan 3 penyidik KPK, hakim kembali menayakan kepada Miryam terhadap keterangan tersebut. Atas pertanyaan hakim, Miryam tetap pada jawaban yang menerangkan bahwa dirinya telah ditekan dan diancam penyidik KPK saat pemeriksaan dan penyidikan serta dipaksa mendatangani BAP sehingga Miryam tetap menyatakan mencabut semua BAP termasuk keterangan mengenai penerimaan uang dari Sugiharto.
Terhadap perbuatan tersebut, Miryam didakwa dengan pasal 22 jo pasal 35 ayat 1 UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur mengenai orang yang sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar dengan ancaman pidana paling lama 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.
sumber: antara