Jumat, 26 Mei 2017 09:18 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Perdana Menteri (PM) Australia, Malcolm Turnbull, menyebut eksekusi cambuk terhadap pasangan gay di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, sebagai hukum barbar.
Namun, dia mengatakan bahwa kejadian itu bukanlah cerminan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
”Ini tentu tindakan yang barbar untuk dilakukan, untuk mencambuk orang karena orientasi seksual mereka,” katanya kepada Neil Mitchell di radio 3AW, Jumat (26/05/2017), sebagaimana dilansir 9news.com.au.
Meski demikian, PM Turnbull memuji Indonesia sebagai negara yang besar dan beragam. Dia juga menyebut Presiden Joko Widodo sebagai sosok pembawa standar untuk Islam moderat.
Turnbull melanjutkan, Indonesia adalah bukti bahwa demokrasi dan Islam bisa kompatibel.
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menjalankan hukum syariah. Penerapan hukum syariah ini merupakan bagian dari kesepakatan damai pada tahun 2006 untuk mengakhiri perang sipil berdarah dengan kelompok separatis.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan bahwa semua orang setara dengan martabat dan hak, terlepas dari orientasi seksualnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, pasangan gay MH, 20 dan MT, 23, dijatuhi hukuman cambuk 85 kali karena melanggar hukum syariah. Eksekusi hukuman itu telah dijalankan hari Selasa, 23 Mei 2017 lalu, di halaman Masjid Syuhada, Gampong (Desa) Lamagugop, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh.
Eksekusi yang dijalankan oleh algojo itu berlangsung pada siang hari dan disaksikan masyarakat sekitar.
Kritik asing terhadap hukum cambuk terhadap pria gay di Aceh bukan baru pertama kali ini muncul. Amerika Serikat (AS) sebelumnya juga mengkritik hukum cambuk yang mereka sebut sebagai hukuman yang ekstrem.
"Kami mendorong Indonesia dan semua negara untuk memberikan perlindungan yang sama kepada semua warganya dan untuk menyesuaikan diri dengan standar hak asasi manusia internasional. Kami berpendapat bahwa pencambukan, seperti yang dijelaskan dalam laporan hak asasi manusia kami, adalah bentuk hukuman yang ekstrem," kata Anna Richey-Allen, juru bicara Departemen Luar Negeri AS untuk Asia Timur.(exe/ist)