Jumat, 19 Mei 2017 17:01 WIB
JAKARTA, Tigapialrnews.com - Mantan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri, Dorojatun Kuntjoro Jakti mengemukakan, dunia saat ini mengalami pergeseran geopolitik dan geoekonomi cepat yang terjadi secara tiba-tiba bahkan tidak dapat diprediksi.
"Sumber dari peristiwa ini berkisar dari persaingan antara kekuatan utama, yakni meningkatnya persaingan di antara ekonomi utama dan mega-bisnis, yang meningkatkan persaingan antara ideologi dan friksi," kata Dorojatun, saat menjadi pembicara di acara Jakarta Geopolitical Forum yang digelar Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (19/5/2017).
Menurut dia, semua negara tentunya akan meningkatkan rivalitas, terkait keberadaan ideologi.
"Ada ketidakpastian, tekanan lebih jauh dibandingkan periode-periode sebelumnya," kata Dorodjatun.
Mantan Dubes RI untuk Amerika ini mengatakan, selama ini bangsa Indonesia juga telah menghargai perbedaan-perbedaan yang ada, baik itu perbedaan yang ada di dalam maupun di luar negeri.
"Indonesia juga menghadapi isu-isu lainnya, termasuk isu toleransi karena adanya berbagai perbedaan seperti ras dan agama. Indonesia juga harus bisa menghadapi isu dari luar termasuk ideologi modern," ucapnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, saat ini harus ada kebijakan luar negeri yang lebih persuasif dan adaptif. Indonesia juga selalu menggunakan politik bebas aktif untuk menciptakan tatanan dunia yang damai.
Untuk menghadapi tantangan dari luar, Indonesia telah lakukan kebijakan diplomatik. Dengan ideologi terbuka yakni Pancasila, Indonesia menyatakan niat baiknya terhadap upaya perdamaian dunia.
"Komunikasi yang terbuka harus terus dilakukan sepanjang waktu. Selalu berusaha lakukan 'mutual understanding' dan jangan memaksa sesuatu. Politik luar negeri indonesia juga menghargai perbedaan. Ke depan perbedaan ini bukan berkurang, tetapi akan semakin banyak. Disinilah tantangannya," tutur Dorodjatun.
Dorojatun mengatakan, Indonesia mampu membangun kerangka dasar kedaulatannya sebagai sebuah negara kesatuan dikaitkan dengan fakta sejarah, yaitu bahwa kemiripan imajinasi geopolitik telah ada di nusantara cukup lama.
"Masyarakat Indonesia menyebut kepulauan ini sebagai 'Tanah Air', secara harfiah berarti 'laut darat' sebagai satu kata. Daerah nusantara sebagai 'Nusantara', secara harfiah merupakan 'negara di-antara'. Dua kerajaan maritim kuno terkemuka secara historis dikenal oleh merek, yaitu Sriwijaya dan Majapahit, seperti juga beberapa kerajaan pantai Islam utama yang diikuti. Sejarah ini digunakan oleh Konferensi Pemuda tahun 1928 di Jakarta untuk merumuskan sumpah 'Satu Negara, Satu Bangsa, Satu Bahasa'. Nasionalisme Indonesia didasarkan pada semangat ini," paparnya.
Pentingnya geopolitik Indonesia, tambah dia, juga dikaitkan dengan posisinya sebagai satu dari lima negara dengan populasi besar, bersama dengan China, India, Amerika Serikat dan Pakistan.
"Saat ini peringkatnya sebagai nomor empat dan pada tahun 2050 sebagai nomor lima, digantikan oleh Pakistan. Indonesia tidak akan dihadapkan pada isu penuaan masyarakat sampai sekitar waktu itu. Sejarah menunjukkan bahwa semangat toleransi bangsa terhadap pluralisme tetap kuat, meski terus multietnis dan multireligius," tuturnya.
sumber: antara