Selasa, 09 Mei 2017 19:31 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Ketua SETARA Institute, Hendardi mengatakan vonis dua tahun penjara dijatuhkan kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama mempertegas delik penodaan agama sangat rentan untuk digunakan siapapun bagi kepentingan tertentu.
"Vonis ini mempertegas bahwa delik penodaan agama rentan digunakan sebagai alat penundukkan bagi siapapun dan untuk kepentingan apapun. Bahkan dari 97 kasus yang pernah terjadi, 89 kasus terjadi pasca 1998. Di sinilah bahaya dari ketentuan yang bias dan multitafsir dari Pasal 156a KUHP," kata Hendardi, Selasa (9/5/2017).
Lebih lanjut Hendardi mengatakan vonis dua tahun penjara untuk Basuki Tjahaja Purnama merupakan kasus penodaan agama ke-97 terjadi sepanjang 1965-2017.
Sebagai sebuah mekanisme demokrasi, tambah Hendardi, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara haruslah dihormati. Akan tetapi harus pula diakui bahwa majelis hakim bekerja di bawah tekanan gelombang massa yang sejak awal memberikan tekanan dan mendesak pemenjaraan Basuki.
Menurut Hendardi, vonis terhadap Basuki di luar kelaziman, karena hakim memutus melampaui apa yang menjadi tuntutan JPU. Karena JPU gagal membuktikan dakwaan primer Pasal 156a, maka JPU hanya menuntut Basuki dengan Pasal 156 KUHP.
"Meskipun tidak lazim, secara prinsip memang hakim independen dan merdeka dalam memutus perkara, sepanjang tidak keluar dari delik dan dakwaan yang termaktub dalam UU," kata Hendardi.
Namun demikian, kemerdekaan hakim semestinya haruslah sejalan dan bertolak dari fakta-fakta persidangan.
Hendardi menilai, kualitas peristiwa hukum yang menimpa Basuki dan pembuktian yang lemah sepanjang masa sidang, semestinya mampu meyakinkan hakim untuk membebaskan Basuki atau setidaknya memvonis dengan hukuman yang tidak melampaui tuntutan JPU.
Hendardi mengatakan menyimak konsideran putusan atas Basuki, tampak bahwa hakim menerapkan standar ganda dalam mempertimbangkan konteks peristiwa hukum itu.
Di satu sisi, tambahnya, hakim mempertimbangkan situasi ketertiban sosial yang diakibatkan oleh ucapan Basuki, tapi di sisi lain, hakim a historis dengan peristiwa yang melatarbelakangi pernyataan Basuki dan pelaporannya oleh kelompok masyarakat.
"Betapa politisasi identitas dan peristiwa hukum itu dijadikan alat penundukkan yang efektif untuk memenangi sebuah kontestasi. Ketidakseimbangan dalam memperlakukan aspek-aspek non hukum inilah yang membuat putusan PN Jakarta Utara mempertegas adanya 'trial by mob'," kata Hendardi.
Menurut Hendardi, kerumunan massa menjadi sumber legitimasi tindakan aparat penegak hukum. Majelis hakim memilih jalan pengutamaan koeksistensi sosial yang absurd dibanding melimpahkan jalan keadilan bagi warga negara, seperti Basuki.
"Trial by mob sudah dipastikan bertentangan dengan 'rule of law' dan membahayakan demokrasi dan negara hukum kita, karena sumber legitimasi telah bergeser dari kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan UUD menjadi kedaulatan kerumunan meski harus mengingkari prinsip-prinsip negara hukum," katanya.
Selain itu, "due process of law" dalam penegakan Pasal 156a tidak pernah dilakukan, padahal genus Pasal 156a adalah UU No. 1/PNPS/1965 yang menuntut adanya peringatan dan proses-proses non yudisial sebelum seseorang diproses secara hukum, kata Hendardi.
Menurut Hendardi Trial by mob telah mengikis kepercayaan diri hakim untuk menghayati asas "in dubio pro reo" dalam memutuskan kasus Basuki.
Asas itu memandu hakim, jika ada keragu-raguan mengenai suatu hal, maka haruslah diputuskan berdasarkan pertimbangan yang paling menguntungkan terdakwa.
"Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah," kata Hendardi.