Selasa, 09 Mei 2017 08:16 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menargetkan sekaligus mendorong produksi plastik urai alami meningkat lima persen dari jumlah kapasitas nasional saat ini sebesar 200 ribu ton per tahun.
Berbeda dengan plastik konvensional, produksi plastik urai alami atau biodegradable plastic tidak memakai polyethylene ataupun polypropylene, namun menggunakan bahan dasar nabati, antara lain singkong, sehingga ramah lingkungan.
“Konsumsi plastik di Indonesia mencapai lima juta ton per tahun, dan baru 50 persen yang bisa dipenuhi dari industri dalam negeri. Kami mendukung pabrik ini agar terus ekspansi dan mengembangkan teknologinya. Bahkan, potensi investasinya masih cukup besar,” kata Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto saat mengunjungi PT Inter Aneka Lestari Kimia dan PT Harapan Interaksi Swadaya di Tangerang, Banten, Senin (08/05/2017), seperti dalam siaran pers Kemenperin.
Airlangga mengatakan industri makanan dan minuman menjadi salah satu yang banyak menyerap produksi plastik untuk pengemasan produknya. Ini karena sifat plastik yang lebih ringan, fleksibel, dan murah dibandingkan dari material kaca dan logam.
“Kalau bisa, dalam waktu dua tahun ini, produknya 10 kali lipat makin banyak. Jadi, tidak hanya menggantikan untuk shopping bag tetapi juga packaging secara keseluruhan, dan tidak hanya di pasar modern tetapi juga tradisional,” papar Airlangga.
Pemerintah menyadari sulitnya menghapus penggunaan produk plastik secara keseluruhan. Ketimbang itu, pemakaian ulang plastik (reuse), pengurangan pemakaian plastik (reduce), daur ulang sampah plastik (recycle), serta pengembalian ke alam (return) melalui penguraian alami (biodegradable) menjadi hal yang paling memungkinkan.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, pemerintah akan mengeluarkan kebijakan supaya penggunaan non-plastik ini bisa dipergunakan lebih luas.
“Karena ini berkaitan dengan masalah lingkungan. Sebagian besar sumber sampah plastik itu berasal dari botol PET, kemasan flexible, dan kantong belanja plastik. Hingga akhir tahun 2016 lalu, Indonesia tercatat sebagai kontributor sampah plastik di laut urutan kedua terbesar di dunia,” kata dia.
Indonesia, sambung dia sedang bekerja keras memerangi sampah plastik. Dia pun memberikan apresiasi kepada perusahaan-perusahaan yang menghasilkan produk ramah lingkungan serta meningkatkan penggunaan konten lokal.
Presiden Direktur PT Inter Aneka Lestari Kimia, Herman Moeliana menyatakan, pihaknya berharap pemerintah segera memberikan payung hukum yang jelas menyangkut penggunaan produk kemasan ramah lingkungan berbahan nabati sebagai alternatif pengganti produk kemasan plastik konvensional.
Sementara itu, Direktur Jenderal Ketahanan dan Pengembangan Akses Industri Internasional (KPAII) Harjanto mengungkapkan Indonesia berencana bekerjasama dengan negara-negara lain dalam upaya menawarkan inovasi teknologi biodegradable plastic.
“Kementerian Perindustrian dengan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) sedang menjajaki suatu kerja sama pengembangan biodegradable plastic ini dengan negara-negara Afrika penghasil singkong, yang merupakan salah satu bahan baku biodegradable plastic,” papar dia.
Dia menilai kerjasama ini sebagai aksi nyata Indonesia menangani pencemaran plastik, sekaligus peluang mendapatkan bahan baku biodegradable plastic.
Negara-negara di Afrika pada umumnya tergolong sebagai Least Developed Countries (LDCs) yang umumnya mendapatkan special treatment untuk memasarkan produknya di negara-negara maju (Eropa/Amerika Serikat), dengan memanfaatkan fasilitas Generalized System of Preference (GSP) maupun Special and Different Treatment (SDT).
“Pemerintah berharap bahwa produsen biodegradable plastic Indonesia dapat memanfaatkan negara-negara tersebut sebagai basis produksi produk biodegradable plastic, yang kemudian dapat diekspor ke pasar Eropa dan Amerika Serikat,” tutur Harjanto.(exe/ist)