Kamis, 04 Mei 2017 11:29 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Terdakwa kasus dugaan penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) satu tahun penjara karena disebut hanya melanggar Pasal 156 KUHP.
Jelas, hal tersebut menuai kecaman dari berbagai pihak, salah satunya GNPF-MUI. Kuasa hukum GNPF-MUI, Kapitra Ampera mengatakan, tuntutan JPU tersebut sama saja menghina nalar publik.
"Masyarakat telah paham, objek penistaan oleh terdakwa adalah agama, bukan golongan masyarakat tertentu. Sehingga JPU seakan meletakkan tuntutan pada posisi yang lemah dan mudah dibantah. Hal ini lantas menjadi celah bagi pembelaan terdakwa dalam Pleidooi-nya," kata Kapitra saat dikonfirmasi, Kamis (4/5/2017).
Lebih lanjut, Kapitra mengatakan, banyak kekeliruan besar yang dilakukan JPU dalam tuntutan Ahok. Sebab, perkara penodaan agama ini diajukan ke pengadilan atas perbuatan terdakwa yang berpidato menyindir ayat suci Al Quran (Al Maidah ayat 51).
"Sangat jelas dan terang, kasus ini dilaporkan hingga dibawa ke pengadilan adalah karena pernyataan terdakwa yang menyatakan 'dibohongi pakai Al-Maidah 51' merupakan penistaan terhadap agama yang menimbulkan keresahan dan perpecahan di masyarakat," jelasnya.
Kapitra menegaskan, hal tersebut tidak relevan jika JPU malah menuntut Ahok dengan dakwaan alternatif kedua, yaitu Pasal 156 KUHP tentang perbuatan menyatakan kebencian, permusuhan, penghinaan kepada golongan rakyat Indonesia.
"Tuntutan JPU yang tidak konsisten dengan pemeriksaan perkara merupakan suatu kejahatan negara di lembaga peradilan. Quod ad facta Nullum crimen majus est in obedientia (tak ada kejahatan yang paling besar dari pada ketidakpatuhan atau inkonsistensi)," pungkasnya.