Selasa, 02 Mei 2017 20:31 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan Vietnam dan Thailand menjadi saingan Indonesia dalam kemudahan Penanaman Modal Asing (PMA) di kawasan Asia Tenggara, terutama dalam kondisi perekonomian dunia yang masih melambat.
"Persaingannya sekarang di situ, membikin aturan dan percepatan yang lebih baik dari Vietnam atau Thailand karena negeri itu menjadi pesaing Indonesia di Asia Tenggara ini," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (2/5/2017).
Berdasarkan data Bank Dunia pada 2016, Indonesia berada di peringkat 91 dalam kemudahan melakukan bisnis atau "ease of doing business", sementara Vietnam berada di posisi 82 dan Thailand di nomor 46.
Di kawasan ASEAN, posisi nomor satu masih diduduki Singapura yang juga terbaik se-Asia-Pasifik, sementara itu Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Kamboja, Laos, dan Myanmar.
"Soal kemudahan investasi, meskipun secara umum kita sudah lebih baik, tapi memang ada hal-hal seperti di negara sekitar kita atau negara lain yang lebih mudah lagi dari pada kita," kata JK.
Oleh karena itu, Wapres menyampaikan bahwa pemerintah akan mendorong deregulasi sehingga PMA di Indonesia lebih mudah dan dapat bersaing dengan negara-negara tetangga.
"Persaingan kemudahan investasi di tiga negara ini harus lebih baik," kata dia.
Di sisi lain, Wapres juga menyoroti perlambatan ekonomi global, terutama di China, yang memengaruhi iklim investasi di Indonesia.
"Soal PMA, memang bukan hanya kita yang turun, tapi akibat ekonomi yang masih melemah di banyak negara, China khususnya, pertumbuhannya 'slow' kan, otomatis pengaruhnya juga mereka banyak kapasitas yang tidak dipakai," kata dia.
"Otomatis mereka kadang-kadang menjual lebih murah, sehingga investasi dimana-mana agar berkurang," lanjut Wapres.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2016, China merupakan investor asing ketiga terbesar di Indonesia dengan modal 2,67 miliar dolar AS, sementara posisi pertama dan kedua berturut-turut adalah Singapura (9,18 miliar dolar AS) dan Jepang (5,4 miliar dolar AS).
sumber: antara