Senin, 20 Februari 2017 21:49 WIB

Luhut Nilai "Layoff" Tenaga Kerja yang Dilakukan Freeport Kejam

Editor : Yusuf Ibrahim
Luhut Binsar Panjaitan. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menyebut aksi pengurangan karyawan atau "layoff" tenaga kerja yang dilakukan PT Freeport Indonesia kejam.

Luhut yang ditemui di Kemenko Kemaritiman Jakarta, Senin (20/02/2017), mengatakan cara tersebut tidak umum dilakukan perusahaan besar sekelas PTFI.

"Itu cara yang tidak umum pada perusahaan besar multinasional karena mem-blackmail (mengancam) mau layoff. Kan enggak benar," katanya.

Menurut mantan Menko Polhukam itu, perusahaan seharusnya bertanggungjawab atas hidup para karyawannya.  "Dia (Freeport) kejam (lakukan) layoff," ujarnya.

Sebelumnya, Freeport mengancam akan melakukan pemutusan hubungan kerja yang bekerja di tambang Grasberg, Mimika, pekan ini.

President dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C Adkerson dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/02/2017), mengaku pihaknya telah melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya dua hari lalu.

Pekan ini, rencananya perusahaan itu akan melakukan PHK terhadap karyawan kontraktor. Dari 32 ribu karyawan yang bekerja saat ini, 12 ribu merupakan karyawan kontraktor. 

Menurut Richard, PHK dilakukan karena perusahaan tersebut harus menjaga bisnisnya secara finansial. Salah satu upaya menjaga bisnisnya adalah dengan pemutusan hubungan kerja tersebut.

Ia menjelaskan, sejak berakhirnya izin ekspor pada 12 Januari lalu, kegiatan operasi Freeport sudah terganggu. Ia mengungkapkan perusahaan bahkan telah berhenti beroperasi sejak 10 Februari lalu lantaran tidak ada tempat penyimpanan konsentrat.

Hal itu juga diperparah dengan adanya pemogokan kerja oleh karyawan smelter Gresik, yang hanya mampu menyerap 40 persen produksi konsentrat dari tambang di Grasberg.

"Kami berhenti operasi pabrik kami 10 hari yang lalu karena tidak ada storage (penyimpanan) untuk simpan konsentrat kami dan tidak bisa ekspor konsentrat. Kami tidak bisa menghasilkan produk yang tidak bisa kami jual. Akibatnya kami turunkan produksi sangat tajam," ujarnya.

Richard mengaku prihatin dengan keadaan tersebut, namun ia menegaskan hal tersebut dilakukan bukan untuk menekan pemerintah dalam rangka negosiasi status kontrak.

"Kami lakukan ini bukan karena negosiasi dengan pemerintah tapi hanya terpaksa agar bisnis bisa berjalan secara finansial. Kami harap bisa segera ada jalan keluar," ujarnya.(exe/ist)