Jumat, 17 Februari 2017 23:57 WIB
JAKARTA, Tigapilanews.com- Militer Myanmar menghentikan operasi bersenjata terhadap etnik Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Langkah ini mengakhiri empat bulan operasi militer yang dikecam dunia internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai operasi militer itu dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
PBB menyatakan tentara Myanmar melakukan kebijakan teror terkalkulasi terhadap etnik Rohingya. Akibat operasi itu, ratusan etnik Rohingya tewas dan hampir 70.000 orang melarikan diri ke Bangladesh.
Para pengungsi Rohingya mengaku pasukan keamanan Myanmar melakukan pemerkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan terhadap etnik minoritas tersebut.
Aparat keamanan juga membakar rumah- rumah etnik Rohingya selama empat bulan operasi militer itu. Selama beberapa bulan, Myanmar selalu menyangkal berbagai laporan yang dirilis media asing dan kelompok hak asasi manusia (HAM) tentang kekerasan yang dialami Rohingya.
Meski demikian, laporan PBB itu meningkatkan tekanan terhadap Pemerintah Myanmar yang dipimpin peraih Penghargaan Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi untuk mengendalikan militer.
Saat ini militer Myanmar masih mengontrol posisi penting di parlemen dan kementerian pertahanan. Sumber pejabat Pemerintah Myanmar menjelaskan, tentara telah mengakhiri operasi militer dan menyerahkan kontrol wilayah Rakhine kepada kepolisian.
“Situasi di Rakhine utara sekarang stabil. Operasi pembersihan yang dilakukan militer telah reda, jam malam telah dilonggarkan, dan yang ada hanya polisi untuk menjaga kedamaian,” papar Penasihat Keamanan Nasional Myanmar yang baru dipilih, Thaung Tun, dikutip kantor berita AFP.
Pemerintah Myanmar telah membentuk komisi yang dipimpin mantan tentara yang kini menjadi Wakil Presiden Myint Swe untuk menyelidiki berbagai tuduhan dalam laporan PBB tersebut. “Kami telah menunjukkan bahwa kami siap bertindak saat ada bukti jelas tentang berbagai pelanggaran,” ujar Thaung Tun.
Lebih dari sejuta etnik Rohingya tinggal di Rakhine. Mereka diperlakukan sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan tidak diberi kewarganegaraan Myanmar. Konflik komunal antara pemeluk Buddha dan Rohingya pada 2012 memaksa puluhan ribu Rohingya tinggal di sejumlah kamp.
Berbagai kelompok HAM menilai Rohingya tinggal di kamp-kamp itu seperti era apartheid. Suu Kyi pun mendapat kritik keras karena tidak mengecam operasi militer tersebut.
Kondisi di Rakhine itu membuat banyak pihak meragukan komitmen Suu Kyi menciptakan demokrasi dan perdamaian yang sesungguhnya di era pemerintahannya.
Pekan lalu, Paus Francis juga menyatakan etnik Rohingya disiksa dan dibunuh begitu saja karena mereka ingin hidup dengan budaya dan keyakinan Islam mereka.
Sementara dalam isu berbeda, kantor kepresidenan Myanmar menyatakan seorang mantan pejabat militer memerintahkan pembunuhan terhadap pengacara Muslim, Ko Ni.
Pengacara itu ditembak di kepala saat siang hari di luar Bandara Yangon bulan lalu saat menunggu taksi. Pembunuhan itu pun mengguncang polisi di Myanmar.
Ko Ni merupakan salah satu tokoh penting di partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Suu Kyi. NLD menganggap pembunuhan itu sebagai aksi teroris dan bermotif politik untuk menentang berbagai kebijakan pemerintah.
Ko Ni terkenal sebagai pengkritik kontrol militer yang masih kuat dalam pemerintahan baru yangdipimpin Suu Kyi. Ko Nijuga menjadi pembela utama untuk warga muslim di Myanmar.
Sebelum tewas dibunuh, Ko Ni sedang mendorong perubahan konstitusi yang menjamin militer mendapatkan seperempat kursi di parlemen dan melarang Suu Kyi menjabat sebagai presiden. Perubahan konstitusi itu tentu akan melemahkan posisi militer dan memperkuat pengaruh pemerintahan Suu Kyi.
Pelaku pembunuhan yang bernama Kyi Lin itu ditangkap di bandara setelah menembak seorang pengemudi taksi yang berupaya menghentikan pelaku melarikan diri.
Setelah sejumlah komentar dari kepolisian, media pemerintah mengonfirmasi bahwa kepolisian telah menangkap tersangka dalang pembunuhan, yakni Aung Win Zaw di negara bagian Karen.
Kantor kepresidenan Myanmar menyatakan kepolisian dan intelijen militer sekarang memburu saudara kandungnya, purnawirawan Letnan Kolonel Aung Win Khaing yang memerintahkan pembunuhan tersebut.
“Sesuai hasil interogasi terhadap Aung Win Zay, adik kandungnya, Aung Win Khaing, memintanya membunuh Ko Ni pada Juli 2016. Sekitar Agustus-September 2016, Kyi Lin pergi kepadanya dan meminta pekerjaan. Dia menawari Kyi Lin 800 sampai 1.000 lakh kyat (USD58.000- USD73.000) untuk membunuh Ko Ni,” ungkap pernyataan kantor kepresidenan.(exe/ist)