Sabtu, 11 Februari 2017 10:35 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA, menjelaskan mengapa lembaganya menampilkan data elektabilitas pasangan calon tidak dalam satu angka, tapi ada angka batas bawah dan batas atas.
LSI Denny JA melansir, Agus-Sylvi di angka 24,6 persen- 39,4 persen. Pasangan Ahok-Djarot di angka 27.2 persen-39-2 persen. Pasangan Anies-Sandi 25,6 persen-38.,4 persen.
Alasannya, terang Denny, karena Pilgub Jakarta lebih liar dari umumnya Pilkada lain. Ia menyebut Pilkada tahun 2012 sudah membuktikannya. Hasil akhir Pilgub Jakarta lima tahun lalu itu membalik hasil akhir survei yang saat itu dipublikasi oleh lembaganya.
"Umumnya hasil akhir lembaga survei Pilkada DKI 2012 menunjukkan pasangan Fauzi Bowo- Nara menang. Hasil akhirnya pasangan Jokowi-Ahok yang menang," kata dia, lewat keterangan tertulis, Sabtu (11/2/2017).
Menurut Denny, ada dua penyebabnya. Di balik satu angka yang diumumkan lembaga survei ini, terdapat soft supporter atau pendukung yang masih mungkin berubah. Juga terdapat pemilih yang belum menentukan pilihannya. Mereka disebut Swing Voters atau pemilih mengambang.
"Untuk kasus Pilgub Jakarta 2017, jumlah swing voters itu masih besar, 22 persen. Itu jumlah yang masih bisa membalikkan keadaan," ungkap Denny.
Hal lain adalah warga pemilik hak suara yang memutuskan tidak memilih alias Golput (golongan putih). Dalam dua Pilkada DKI, di tahun 2007 dan 2012, angka Golput di atas 30 persen. Jika lebih banyak yang Golput dari pendukung pasangan tertentu, dengan sendirinya hasil akhir berubah.
"Itu sebabnya, sebaiknya publik diberi info soal batas bawah dan batas atas elektabilitas masing-masing calon itu. Namun dari data yang ada, seliar-liarnya Pilkada DKI 2017, pilkada besar kemungkinan berlangsung dua putaran," jelas Denny.