Jumat, 10 Februari 2017 07:03 WIB
JAKARTA, Tigapilarnews.com- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mohammad Mahfud MD, menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Mendagri Tjahjo Kumolo berpotensi melanggar konstitusi bila tidak menonaktifkan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dari posisi gubernur DKI Jakarta setelah masa kampanye selesai.
Mahfud menuturkan, potensi pelanggaran konstitusi yang dilakukan Presiden dan Mendagri karena Ahok yang sudah berstatus terdakwa kasus dugaan penistaan agama Islam dan maju sebagai calon gubernur pada Pilkada DKI Jakarta akan mengakhiri masa cuti kampanye pada 11 Februari 2017.
"Menurut UU (Pemda) Pasal 83 ayat 1 itu jelas, seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa, bukan menjadi tertuntut (tersangka) ya, yang sudah menjadi terdakwa itu diberhentikan sementara. Tidak ada pasal lain lagi yang bisa menafikan itu. Tidak bisa mengatakan menunggu tuntutan. Lho, inikan dakwaan kok. Iya kan. Dakwaannya sudah jelas," kata Mahfud usai menghadiri diskusi dengan pimpinan KPK, di Gedung lama KPK, Jakarta, Kamis (09/02/2017).
Dia membeberkan, saat masa cuti kampanye berlangsung Ahok memang sudah dinonaktifkan dari jabatan gubenur. Tapi pada 12 Februari nanti maka Ahok berposisi lagi menjadi gubernur.
Untuk penonaktifkan lagi Ahok dari jabatan gubernur maka pada 12 Februari tersebut maka Presiden melalui Mendagri harus kembali menonaktifkan Ahok. Kalau melewati tanggal tersebut, Mahfud menegaskan, Presiden telah melanggar konstitusi, karena memberikan jabatan kepala daerah kepada seorang terdakwa.
Kalau Presiden masih kukuh maka harus harus diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu).
"Tapi kalau tanggal 12 (Februari 2017) ini Pak Ahok tidak dicopot, presiden harus mengeluarkan Perppu. Karena tak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut (Pasal 83) itu," ujarnya.
Di sisi lain, Mahfud mengingatkan, ada konsekuensi atau tanggungjawab yuridis jika Presiden mengeluarkan Perppu. Hanya saja dia menyarankan agar Presiden memikirkan dengan matang, kalau memang mau menerbitkan Perppu untuk mencabut pasal 83 dalam UU Pemda.
"Presiden boleh mencabut pasal itu, misalnya dengan hak subjektifnya, asalkan mau menanggung seluruh akibat politik dari pencabutan pasal itu. Saya memberi jalan yuridisnya. Ada hak subjektif Presiden, hal subjektif itu artinya alasan-alasannya ditentukan sendiri presiden tapi dipertanggungjawaban sendiri secara politik pada masa sidang DPR berikutnya. Termasuk kemungkinan kalau misalnya Perppu itu dinyatakan ditolak. Itu harus dipersiapkan juga (cara lain)," katanya.(exe/ist)