JAKARTA, Tigapilarnews.com - Penyanderaan 4 Anak Buah Kapal (ABK) berwarga negara Malaysia oleh kelompok Abu Sayyaf di wilayah semporna, Sabah, Malaysia, Sabtu (2/4/2016), tidak ada hubungannya dengan penyanderaan 10 Warga Negara Indonesia (WNI) yang juga disandera oleh Abu Sayyaf belum lama ini. "Hubungan langsung tidak ada, motif dari pembajakan tersebut lebih pada unsur finansial. Mereka bisa menyandera siapapun untuk mendapatkan uang tebusan yang tinggi dari pemerintah warga negara yang disandera," kata Pengamat teroris dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak kepada Tigapilarnews.com, Sabtu (2/4/2016).Diketahui, hingga saat ini 10 WNI yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di Filipina belum dibebaskan. Melainkan, mereka memberikan batas waktu sampai 8 April mendatang untuk mememuhi penebusan uang sebesar 50 juta peso atau setara dengan Rp15 miliar. Apabila sampai batas waktu tersebut tidak dipenuhi oleh pemerintah Indonesia, kelompok Abu Sayyaf akan membunuhnya."Sisi negatif bila pemerintah bersedia memberi 50 juta peso adalah mereka mungkin akan melakukan penyanderaan lagi, jadi akan terus berulang. Penanggulangan secara repressif melibatkan negara-negara ASEAN menjadi opsi yang bagus untuk jangka panjangnya," ungkapnya.Menurutnya, keselamatan 10 WNI harus menjadi prioritas oleh pemerintah untuk diselamatkan. Maka dari itu, idealnya pembebasan 10 WNI ini diselesaikan melalui negosiasi damai. Sebab, sebutnya, pemerintah Indonesia dengan Abu Sayyaf selama ini tidak ada persoalan serius."Bila pun opsi militer yang diambil harus diperhitungkan dengan cermat. Jangan hanya karena gengsi atau gagah-gagahan saja, bisa-bisa dampaknya malah 10 WNI tersebut dieksekusi," himbaunya.Dia menyarankan, lebih baik pemerintah Indonesia juga berkoordinasi dengan pemerintah Filipina dan Malaysia untuk sama-sama menuntaskan kasus penyanderaan ini. "Bilapun opsi militer terpaksa dilakukan, perlu melibatkan 3 negara tersebut, sehingga lebih kuat," pungkasnya.