Rabu, 11 Desember 2019 23:40 WIB

UU Tipikor Sudah Cukup Atur Hukuman Mati Bagi Koruptor, Tidak Perlu Direvisi

Editor : Rajaman

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Berbagai kalangan mendesak agar Presiden Jokowi mengusulkan kepada DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dibandingkan hanya berwacana atau beretorika di hadapan publik mengenai pemberian hukuman mati bagi koruptor. 

Perdebatan panjang mengenai koruptor perlu dihukum mati yang hingga kini belum ada satupun vonis itu terjadi di Indonesia,  berawal dari pertanyaan yang diajukan oleh seorang siswa SMK Negeri 57 Jakarta bernama Harley Hermansyah kepada Presiden Jokowi di Hari Antikorupsi Sedunia pada Senin (9/12/2019).

Pertanyaan yang dimaksud yakni "Kenapa negara kita dalam mengatasi koruptor tidak terlalu tegas? Kenapa tidak berani seperti di negara maju, misalnya dihukum mati?"

Presiden Jokowi lalu menjawab pertanyaan seusai acara tersebut. Dia mengatakan aturan hukuman mati untuk koruptor bisa saja diterapkan untuk mencakup korupsi yang lebih luas, tak hanya sebatas yang sudah diatur di UU Tipikor saat ini. Menurut dia, aturan yang ada dapat direvisi apabila memang ada kehendak yang kuat dari masyarakat.

Saat ditanya apakah pemerintah akan menginisiasi rancangan atau revisi UU yang memasukkan aturan soal hukuman mati bagi koruptor, Jokowi tak menjawab lugas. Menurut dia, hal itu kembali berpulang pada kehendak masyarakat.

Menanggapi hal tersebut, anggota komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Didik Mukrianto mengatakan bahwa UU Tipikor yang berlaku saat ini sudah mengatur hukuman mati bagi koruptor. Sehingga ia menyebut UU Tipikor tidak perlu direvisi. 

"Persoalan UU sekarang ini political will sudah cukup. Tinggal kita memastikan bahwa penegakan hukum bisa secara proper, transparan, melibatkan semua pihak, tidak terbang pilih. Kemudian komitmen dari penegak hukum juga sama bahwa tidak ada embel-embel kepentingan praktis maupun prakmatis termasuk kepentingan politik," ujar Didik Mukrianto di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Pasal dalam UU Tipikor yang dimaksud Didik sudah mengatur hukuman mati bagi koruptor yakni pasal 2 ayat 1 UU Tipikor disebutkan ‘Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)’.

Sedangkan, di dalam ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan’.

Di dalam aturan penjelasan ayat (1) diterangkan yang dimaksud dengan ‘secara melawan hukum’ di dalam pasal ini mencakup melawan hukum dalam arti formil maupun materiil.

Artinya, meski perbuatan tersebut tidak diatur di dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Dalam ketentuan ini, kata ‘dapat’ sebelum frasa ‘merugikan keuangan atau perekonomian negara’ menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adnaya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Sedangkan di dalam ayat (2) dijelaskan yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Hal terpenting dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, kata Didik, bukan hanya penindakan tetapi membangun sebuah design pencegahan yang tepat. Misalnya membangun grand design bersama antar penegak hukum dengan pemerintah. Pasalnya, terbukti membangun budaya korupsi hingga saat ini sejak 1998, ternyata budaya korupsi masih belum signifikan terkikis dari negeri ini. 

"Terbukti banyaknya kepala daerah yang terkena tindak pidana korupsi," katanya. 

Lebih lanjut legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur ini meminta pemerintah dan penegak hukum duduk bersama untuk merumuskan grand design pemberantasan korupsi secara utuh yang menjadi pedoman bersama. 

"Kalau sendiri-sendiri tidak akan menjadi sebuah kerja bersama karena korupsi ini sifatnya kejahatan luar biasa maka grand design bersama menjadi penting," jelasnya. 

Anggota DPR dua periode ini menambahkan yang lebih penting lagi pemerintah dan penegak hukum harus berani menyatakan bahwa Indonesia harus bersih atau bebas korupsi pada tahun tertentu. Misalnya, 25 tahun lagi, 50 atau 100 tahun lagi, bahkan bisa lebih cepat dari itu lebih baik. 

Artinya, kata Didik, kalau punya pola pikir dan maindset yang sama maka semuanya berbenah. "Penegak hukum dan pemerintah akan membangun sistem yang sama dengan antikorupsi. Karena penegakan hukum tanpa pembenahan sistem maka rasanya akan sulit untuk korupsi ini bisa diberantas," paparnya. 

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Muhammad Husni sepakat dengan Didik Mukrianto bahwa UU Tipikor tidak perlu direvisi, karena UU tersebut sudah mengatur hukuman mati bagi koruptor. "Saya ikuti saja aturan mainnya, selama itu bermanfaat untuk kepentingan masyarakat," ujar Muhammad Husni. 

Ia juga mengaku sudah banyak menerima usulan dari berbagai pihak agar hukuman mati bagi koruptor seperti yang diatur dalam UU Tipikor diimplementasikan. Sayangnya, revisi UU Tipikor yang diusulkan DPR tidak masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2020. RUU ini hanya masuk dalam prolegnas 2020-2024 dengan nomor urut 86.

Husni juga sepakat dengan usulan itu karena sudah banyak negara yang menerapkan hukuman tersebut. "Banyak negara sudah melakukan itu. Sah sah-saja. Malaysia, Singapura, China. Malah dinegara lain lebih parah lagi, dimiskinkan," kata legislator asal daerah pemilihan Sumatera Utara ini. (Rob)


0 Komentar