Minggu, 08 Desember 2019 19:44 WIB

Ahli Hukum Pidana: Sanggup atau Tidak Sih Polri Ungkap Kasus Novel Baswedan?

Editor : Rajaman
Ahli Hukum Pidana Suparji Achmad (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan memanggil Kapolri Jenderal Idham Azis pada Senin besok untuk menanyakan perkembangan kasus penyiraman penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. 

Pada Jumat lalu, Kapolri juga sudah menunjuk mantan ajudan Presiden Jokowi, pada Mei 2013 yang juga mantan Kadiv Propam Polri Irjen Listyo Sigit Prabowo menjadi Kabareskrim. 

Publik pun bertanya-tanya atas komitmen Presiden Jokowi terhadap pemberantasan korupsi. Pasalnya, pasca penyerangan Novel Baswedan pada 11 April 2017 hingga hari ini, tidak ada sikap tegas dari Presiden terhadap Polri mengungkap pelaku penyerangan, apalagi dalang dalam teror terhadap Novel Baswedan. 

Presiden Jokowi hanya memberi tenggat waktu sampai awal Desember 2019 bagi Kapolri Jenderal (Pol) Idham Azis mengungkap kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. 

Hal itu disampaikan Jokowi usai melantik Idham sebagai Kapolri di Istana Negara, Jakarta, Jumat (1/11/2019). Namun, Jokowi tak menjawab pertanyaan wartawan apakah ia akan membentuk tim gabungan pencari fakta independen jika target itu tak terpenuhi.

Jokowi juga sebelumnya sempat memberi target ke Kapolri terdahulu, Tito Karnavian, untuk mengungkap kasus Novel dalam 3 bulan. Target itu diberikan Jokowi pada 19 Juli 2019, setelah tim gabungan pencari fakta yang dibentuk Tito gagal mengungkap kasus tersebut.

Menanggapi hal itu, ahli hukum pidana Suparji Achmad mempertanyakan sebenarnya Polri ini sanggup atau tidak mengungkap kasus ini. Apabila tidak sanggup, kata Suparji, Presiden harus berani meninjau ulang jabatan Kapolri Idham Azis. 

"Buat komitmen awal dulu, sanggup atau tidak kepada tim untuk menuntas kasus tersebut. Dan juga memberikan konsekuensi hukum jika tidak berhasil," ujar Suparji Achmad saat dihubungi di Jakarta, Minggu (8/12/2019). 

Menurut Suparji, hal itu perlu dilakukan oleh Presiden karena Presiden telah  memberikan kepercayaan kepada kepolisian untuk mengungkap kasus ini. Selain itu, tambah Suparji, apabila tidak bisa mengungkap kasus ini, anggota tim bentukan Polri diberikan catatan prestasi yang tidak baik.

"Misalnya diberikan catatan prestasi yang nggak baik, tidak promosi dan lain-lain," katanya. 

Polri sebelumnya sudah membentuk tiga tim untuk mengungkap kasus Novel. 

Tim pertama dibentuk oleh Kapolri Tito Karnavian pada 12 April 2017 yang merupakan gabungan dari Polres Jakarta Utara, Polda Metro Jaya, dan Mabes Polri.

Selama proses pengungkapan kasus, Kapolda Idham Azis pernah menyampaikan bahwa telah ada 166 orang yang terlibat dalam Satgasus dengan memeriksa 68 orang saksi, 38 rekaman CCTV, dan 91 toko penjual bahan-bahan kimia per 14 Maret 2018. 

Tim kedua dibentuk oleh Kapolri Tito Karnavian pada 8 Januari 2019 melalui surat tugas nomor: Sgas/3/I/HUK.6.6./2019.

Tim gabungan di bidang penyelidikan dan penyidikan kasus penyerangan air keras terhadap Novel Baswedan merupakan rekomendasi dari hasil laporan tim pemantauan proses hukum Novel Baswedan yang dibentuk oleh Komnas HAM RI. 

Tim tersebut beranggotakan 65 orang, 53 orang di antaranya berasal dari Polri. Tim yang diketuai oleh Kapolda Metro Jaya Idham Azis telah memeriksa 74 orang, 38 rekaman CCTV, dan 114 toko penjual bahan-bahan kimia yang juga melibatkan kepolisian dari Australia. Salah satu rekomendasinya yaitu membentuk tim teknis lapangan. 

Tim ketiga yang dibentuk oleh Kapolri Tito Karnavian yaitu tim teknis kasus Novel Baswedan berdasarkan rekomendasi dari tim gabungan.

Kapolri mengeluarkan Surat Perintah Tugas (Sprint) pada 1 Agustus 2019 yang diketuai oleh Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Nico Afinta dengan bertanggung jawab kepada Kabareskrim Polri Idham Azis. 

Tim teknis memiliki anggota sebanyak 120 orang yang bertugas selama enam bulan. Namun, Presiden Jokowi menolak permintaan tersebut dengan menyatakan bahwa awal Desember akan menyampaikan hasil temuan tim teknis. Hingga saat ini nihil.

Pesimis Terungkap

Suparji yang juga Ketua Program Studi Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Al Azhar Indonesia ini pesimis Polri dapat mengungkap kasus ini.

"Semakin lama perkara tersebut, kemungkinan akan semakin sulit terungkap karena alat bukti semakin menurun kualitasnya dan semakin sulit ditemukan," ungkapnya.

Dijelaskannya bahwa suatu kasus dalam perspektif hukum adalah mengungkap fakta berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan utk mendapatkan kebenaran, keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

"Kasus penyiraman Novel Bawesdan sudah terjadi sangat lama. Tim pencari fakta sudah dibentuk, Presiden telah memberikan perhatian khusus, tetap hasil yang sesuai ekspaktasi hukum dan publik belum terwujud," sesalnya. (Rob)


0 Komentar