Jumat, 08 November 2019 00:23 WIB

Fraksi NasDem Serap Aspirasi Masyarakat Terkait Usulan Amandemen UUD 1945

Editor : Rajaman
Sekretaris Fraksi NasDem MPR Syarif Abdullah Alkadrie

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Fraksi Partai Nasional Demokrat (FNasDem) di MPR belum mengambil sikap terkait adanya usulan amandemen terhadap UUD 1945. FNasDem ingin terlebih dahulu menerima masukkan sebanyak-banyaknya dari masyarakat karena UUD 1945 mengatur kehidupan bangsa dan negara. 

"Kalau masyarakat berkeinginan amandemen itu, ya kita amandemen. Makanya kita dalam posisi terhadap amandemen ini lebih banyak dulu menyerap aspirasi masyarakat," ujar Sekretaris FNasDem di MPR, Syarif Abdullah Alkadrie, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/11/2019).

Menurut Syarif, usulan amandemen UUD 1945 ini sudah ada sejak periode MPR 2014-2019. Sebagian fraksi di MPR ingin menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ia berpendapat menghidupkan GBHN agar ada landasan hukum yang kuat dalam berbangsa dan bernegara.

"Kalau dengan UU, nanti di uji ke Mahkamah Konstitusi (MK). GBHN ini bukan diprodak untuk jangka waktu 5 tahun, tapi ada jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Kalau dulu zaman Presiden Soeharto ada Repelita jangka waktu 25 tahun," jelasnya.

Berbagai kalangan menilai GBHN tidak perlu dihidupkan karena saat ini sudah ada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Syarif menilai hal itu tidak mengikat dan hanya janji kampanye visi misi presiden. 

"Maunya GBHN ini kan untuk mungkin yang tidak ada dalam visi misi presiden. Sehingga dengan demikian termuat rancangan atau rencana presiden mungkin 25 tahun ke depan," jelasnya.

Lebih lanjut Wakil Ketua Komisi V DPR ini mengungkapkan saat ini perdebatannya acuan hukumnya seperti apa. Dahulu landasannya TAP MPR karena MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Atau ada juga usulan dibuat saja dulu MPR mempunyai prodak hukum yaitu TAP MPR yang kedudukannya lebih tinggi dari UU. Sehingga tidak bisa digugat ke MK.

"Ada juga sebagian itu (menghidupkan GBHN-red) masa lama," ungkapnya.

Legislator asal daerah pemilihan Kalimantan Barat ini menambahkan ada juga usulan amandemen ini kembali pada awal atau aslinya UUD 1945. Artinya, apabila kembali pada naskah asli UUD 1945 maka MPR menjadi lembaga tertinggi negara dan masa jabatan presiden tidak terbatas dan dipilih oleh MPR. Saat ini masa jabatan presiden dibatasi selama 10 tahun atau dua periode dan dipilih langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemiliham umum atau pemilu.

"Ini kan lempar-lemparan. Ada juga usulan amandemen terbatas berkaitan dengan Pemilu, karena Pemilu serentak (Pileg dan Pilpres bersamaan-red) ini putusan MK. Kalau pendapat pakar, tidak perlu amandemen untuk pisahkan Pileg dan Pilpres. Cukup revisi UU Pemilu," paparnya.

Amandemen UUD 1945 ini dinilai tidak akan terjadi karena belum ada kesepakatan seluruh fraksi di MPR dan DPD RI. Namun Syarif berpandangan yang krusial untuk di amandemen dalam UUD 1945 yakni pemisahan pelaksanan Pileg dan Pilpres serentak. Pasalnya, putusan MK itu final dan mengikat, sehingga tidak bisa diubah dengan UU yang sama. 

"UU Pemilu kan sudah dibatalkan MK. Harus mengubah memasukan itu dengan cantolan mengatur itu UUD 1945," katanya.

Syarif menandaskan pemisahan Pileg dan Pilpres dapat dilakukan dengan membuat UU yang baru yang berlandaskan tiga aspek, yakni yuridis, filosofis dan sosiologis. "Kan banyak ini aspek sosiologisnya sampai terjadi banyak macam-macam. Secara filosofis supaya pemilu ini tidak menimbulkan perpecahan. Ini semua tetap berkembang lah," pungkasnya.


0 Komentar