Rabu, 15 Mei 2019 13:23 WIB

Trump Jaga Tradisi Clinton

Editor : Yusuf Ibrahim
Donald Trump. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Diplomat muslim dari berbagai negara mengikuti buka puasa bersama yang diadakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, di Gedung Putih, Washington, kemarin.

Sikap toleransi ini sudah dipraktikan setidaknya sejak era pemerintahan Bill Clinton (1993-2001).

Trump mengatakan, saat ini umat beragama di seluruh dunia sedang menghadapi masa yang sulit. Umat muslim diguncang serangan teror di Selandia Baru dan Myanmar, sedangkan umat Kristen di Sri Lanka dan umat Yahudi di California dan Pittsburg, AS. Dari peristiwa itu, banyak korban tewas yang tak bersalah.

“Kita perlu melawan kejahatan terorisme dan penganiayaan agama sehingga semua umat beragama dapat beribadah dengan tenang, sembahyang tanpa rasa takut, dan hidup dengan kepercayaan yang mengalir dari dalam hati mereka,” ujar Trump di sela-sela buka puasa bersama, dikutip startribune.com, kemarin.

Trump menambahkan, ramadan merupakan waktu istimewa bagi umat muslim, khususnya di AS. Tak sedikit warga muslim AS yang membantu warga non-muslim AS, baik materil ataupun moril. Dia juga terkesima dengan keeratan tali persaudaraan antarkeluarga, tetangga, dan komunitas umat muslim di negaranya.

“Ramadan merupakan waktu untuk mengejar harapan, toleransi, dan perdamaian. Semangat inilah yang membawa kita semua (hadirin) berada di Gedung Putih untuk iftar,” kata Trump.

“Saya bersyukur kepada Tuhan, semua umat bergama di AS dapat hidup berdampingan dan diberi kebebasan,” tambah Trump.

Sebelum Trump, Presiden Barack Obama (2009-2017) juga sering menggelar acara buka puasa bersama di Gedung Putih. Para tamu biasanya berkumpul di ruang East Wing, tempat penyimpanan Alquran milik Presiden Thomas Jefferson, sebelum waktu Maghrib tiba. Muadzin biasanya dari kalangan mahasiswa muslim.

Para tamu lalu menyantap takjil di ruang Grand Foyer dan makan bersama di State Dining Room. Semua makanan yang disajikan diupayakan memenuhi syariat Islam alias halal.

Para peserta tidak semuanya berasal dari perwakilan, tapi juga termasuk staf Gedung Putih, pegawai negeri sipil (PNS), dan warga muslim AS.

Obama kala itu mengakui warga muslim AS bekerja keras membantu mengatasi permasalahan negara dengan membuka akses terhadap pendidikan, kesehatan, keamanan makanan, dan pembinaan remaja yang terjebak pergaulan bebas. Aala Muhammaed misalnya yang mendorong semua orang sekolah setinggi-tingginya.

“Orang tua saya merupakan imigran dari Sudan. Mereka harus bekerja siang malam untuk dapat menyekolahkan saya di bangku SMA di Chicago. Harapan saya untuk kuliah sempat redup karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung. Namun, atas bantuan organisasi nirlaba, saya akhirnya dapat kuliah,” kata Aala.

Sama seperti Aala, Muhammed Chaudhry juga mendirikan sebuah yayasan yang bekerja sama dengan sekolah, startup IT, dan orang tua untuk membantu para murid menyukai ilmu alam dan matematika. Mereka juga menciptakan program menarik dengan cara yang kreatif untuk mendorong keluarga tidak mampu.

“Terima kasih atas kontribusi kalian terhadap negeri ini dengan membuka akses terhadap orang-orang yang membutuhkan. Tidak peduli agama, ras, dan gender kita apa, sebagai manusia kita semuanya sama,” ujar Obama, dilansir obamawhitehouse.archives.gov.

“Di negeri ini, semua orang bebas memeluk agama,”

Presiden Bill Clinton merupakan Presiden AS pertama yang memulai tradisi iftar di Gedung Putih pada 1996 silam. Kendati begitu, banyak yang menimbang Presiden Thomas Jefferson (1801-1809) sebagai Presiden Pertama AS yang menggelar iftar. Sebab, pada masanya, dia menetapkan jam makan malam pada waktu Maghrib.

Selain AS, Presiden Bulgaria Rossen Plevneliev juga menggelar acara buka puasa bersama di Museum Sejarah Nasional, Sofia Boyana.

Peserta yang hadir meliputi Ketua Mufti Mustafa Hadji, Kepala Gereja Ortodoks Patriarch Neotif, Wakil Perdana Menteri Roumyana Buchvarova, dan Kepala Parlemen serta diplomat.

Plevneliev telah menggelar iftar selama tiga tahun berturut-turut sejak 2017. Saat itu, dia sempat mengatakan kemungkinan akan kembali menjadi warga sipil mengingat masa jabatannya akan habis.“Persatuan, perdamaian, dan kesejahteraan tidak akan tercipta tanpa dukungan semua warga,” kata Plevneliev.(exe)


0 Komentar