Selasa, 16 April 2019 11:05 WIB

Pawai Kemenangan Diminta Tunggu Putusan KPU

Editor : Yusuf Ibrahim
Menko Polhukam, Wiranto. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Menteri Koordinator Politik, Hukum, Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto bersama Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sepakat melarang pawai kemenangan peserta pemilu sebelum ada pengumuman resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Pelarangan ini merupakan hasil Rapat Koordinasi Kesiapan Akhir Pengamanan Tahapan Pemungutan dan Perhitungan Suara Pileg dan Pilpres Tahun 2019 yang digelar di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.

Wiranto pun mengajak masyarakat untuk menunggu hasil resmi dari KPU terlebih dahulu. “Karena itu, tadi dari aparat kepolisian telah tegas mengatakan bahwa mobilisasi massa dalam rangka pawai kemenangan sebelum pengumuman resmi diumumkan, maka akan tidak diizinkan karena nyata-nyata itu melanggar undang-undang menyatakan pendapat di muka umum, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998,” kata Wiranto.

Menurut dia, ada 4 syarat agar bisa mendapatkan izin melakukan mobilisasi massa sesuai undang-undang. Salah satunya tidak mengganggu ketertiban umum. “Di mana di pasal 6, kegiatan unjuk rasa, kegiatan mobilisasi massa di muka umum itu paling tidak ada empat syarat, tidak mengganggu ketertiban umum, tidak mengganggu kebebasan orang lain, kemudian dalam batas-batas etika dan moral. Yang keempat tidak mengganggu kesatuan dan persatuan bangsa,” ujarnya.

Wiranto menyarankan agar masyarakat melakukan syukuran kemenangan di rumah masing-masing dibandingkan dengan melakukan pawai kemenangan yang bisa mengganggu ketertiban umum. “Nah, kalau syukuran kemenangan di rumah masing-masing boleh tentunya ya, syukuran kemenangan di rumah tetangganya hadir boleh,” katanya.

Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengatakan, pawai kemenangan sebelum ada pengumuman resmi KPU akan menimbulkan permasalahan. Apalagi jika ada mobilisasi massa yang dikhawatirkan dapat menimbulkan provokasi.

“Kami meminta masyarakat agar tidak melakukan pawai syukuran atau apa pun mobilisasi massa untuk menunjukkan kemenangan karena nanti akan memprovokasi pihak yang lainnya. Lebih baik kita tetap menjalankan kegiatan dengan baik, tenang,” katanya.

Tito mengatakan, mobilisasi massa juga dilarang dalam penyelesaian sengketa pemilu. Dia pun menyebut masalah itu bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Kalau ada hal dianggap tidak sesuai undang-undang, maka ada mekanismenya untuk para petugas, ada Bawaslu dan juga nanti ada proses MK kalau ada hal dianggap melanggar, tapi tidak dalam bentuk mobilisasi massa. Kalau ada mobilisasi massa, maka Polri tidak memberikan izin,” ujarnya.

Wiranto mengaku sudah mengeluarkan enam instruksi untuk menjamin keamanan masyarakat selama berlangsungnya pencoblosan pada 17 April nanti. Pertama, menciptakan ruang aman bagi para pemilih.

“Berikan dan ciptakan ruang yang aman bagi para pemilih untuk bisa bergerak, berangkat dari rumah ke TPS untuk melaksanakan pemilihan tanpa tekanan. Ini seusai dengan amanat pemilu kita,” ujarnya.

Kedua, dia meminta agar membantu penyelenggaraan pemilu, para petugas apabila ada sesuatu yang perlu dibantu atau kurang. Ketiga, dia memerintahkan untuk memasang mata dan telinga guna menetralisasi indikasi yang mengganggu jalannya pemilu. “Terutama di TPS-TPS. Cari, temukan, dan atasi sebelum mereka melaksanakan kegiatan yang mengganggu pemilu dan pemilih,” katanya.

Keempat, kawal mobilisasi dan penghitungan suara secara ketat agar tidak ada gangguan atau menghindari kecurangan-kecurangan yang bisa mengganggu jalannya perhitungan suara. “Kelima, ini sudah berkali-kali disampaikan Panglima TNI dan Kapolri, jaga netralitas sebagai aparat keamanan yang baik dan terpercaya,” ujarnya.

Keenam, tetap menggunakan moto yang pernah disampaikan bahwa mengamankan pemilu adalah kehormatan. Pemilu sukses, katanya, adalah kebanggaan sebagai bangsa. “Saya harapkan bahwa tahapan ini betul-betul dilaksanakan dengan baik,” ujarnya.

Wiranto juga mengaku sempat khawatir karena adanya isu kerusuhan saat pemilu dan membuat masyarakat lari keluar negeri. Namun, dia memastikan isu itu tidak benar. “Yang kita khawatirkan adanya eksodus keluar negeri, adanya isu hoaks yang mengatakan adanya ancaman, ada chaos atau kerusuhan sehingga kemudian membuat rasa takut dan mereka lebih baik luar negeri,” ungkapnya.

Menurut dia, eksodus keluar negeri itu belum terlihat hingga kini. Hal itu ditandai dengan grafik kedatangan dan keberangkatan luar negeri yang masih stabil.

“Dari laporan memang tidak terjadi, eksodus tidak terjadi, eksodus luar negeri tidak terjadi karena grafik mingguan orang-orang Indonesia yang pergi keluar negeri dan dari luar negeri ke dalam negeri itu stabil, tidak ada lonjakan, tidak ada angka-angka yang mengisyaratkan bahwa sebelum pemilu ini ada eksodus,” ujarnya.

Wiranto pun menyebut bahwa masyarakat justru menyambut dengan antusias pemilu di dalam negeri. Hal itu ditandai dengan banyaknya orang masuk ke Indonesia dibanding yang meninggalkan. “Total kurang lebih antara 70.000 yang keluar, yang masuk 74.000. Artinya apa? Banyak masyarakat sangat antusias untuk memberikan hak suaranya dalam pencoblosan,” katanya.

Tito Karnavian mengaku pihaknya telah membagi TPS ke dalam sejumlah kategori, seperti aman, rawan, dan sangat rawan. Polri, ujarnya, siap menambah personel yang didasari berbagai analisis dan pemetaan.

“Yang kita anggap rawan kalau proporsi dukungan dari A ke B termasuk caleg-caleg itu relatif proporsi hampir sama, kita otomatis akan memperkuat dan mempertebal tempat tersebut, baik dari limas maupun dari Polri juga dari TNI,” ungkapnya.

Menurut Tito, jika suatu daerah didominasi satu kelompok pendukung, maka daerah itu tergolong aman. Daerah tersebut akan dijaga dengan pengamanan standar.

“Untuk yang aman ini biasanya kriteria misalnya di satu tempat itu dominasi oleh pendukung A atau pendukung B, itu potensi konflik kecil sehingga otomatis kekuatan yang diplot ke sana juga kekuatannya minimal standar,” ujarnya.

Selain pengamanan di TPS, personel Polri dan TNI juga akan melakukan patroli mengantisipasi mobilisasi massa. Upaya itu difokuskan di daerah yang rawan terjadi tekanan psikologis kepada pemilih. Tito juga menjelaskan kondisi selama masa kampanye terbuka relatif aman. Meski ada beberapa insiden di daerah, namun kondisi itu bisa ditangani. 

“Selama masa kampanye enam bulan itu tidak terjadi gangguan kamtibmas yang signifikan. Ada beberapa dinamika, seperti di Jawa Tengah di Yogya, kemudian ada operasi penindakan teror yang terjadi di Sumatera Utara dan bisa ditangani dengan baik. Situasi relatif aman saat ini yang ditandai dengan situasi semua kegiatan pemerintah dan masyarakat relatif berjalan lancar,” katanya.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan, pihaknya bersama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah melakukan pemantauan di media sosial terkait dugaan pelanggaran pemilu di masa tenang. Hasilnya ditemukan tujuh konten diduga melanggar Undang-Undang Pemilu. 

“Jadi, ada tujuh sampai pagi tadi. Pada 14 April pukul 01.00 hingga 00.00 WIB (15 April) ditemukan adanya empat pelanggaran terjadi. Kemudian sampai tadi jam 06.00 WIB juga teridentifikasi ada tiga diduga melanggar UU. Yang lainnya hoaks berjalan menggunakan UU ITE selama ini memang sudah berjalan. Memang ada dua pendekatan, satu yang hoaks berjalan dan masih ada tetap, kemudian kedua adalah masa tenang yang mengacu pada UU 7 Tahun 2017, yaitu minggu tenang KPU,” ungkapnya.

Menurut Rudiantara, ke-7 konten itu diduga mengandung unsur kampanye. Dia pun mengingatkan bahwa kebebasan berekspresi di media sosial juga tidak boleh bersifat kampanye. “Tidak boleh yang dianggap menjual salah satu paslon. Tapi, kami menghormati hak berekspresi sesuai dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar. Namun yang berekspresi pun batasannya tetap Undang-Undang ITE,” ujarnya.

Rudiantara tidak menjelaskan secara detail terkait isi konten dan akun yang diduga melanggar itu. Saat ini temuan itu sudah diproses Bawaslu.

“Itu Instagram. Kita pisahkan yang diduga melanggar atau hashtag, kalau hashtag yang mengekspresikan keberpihakan atau apa itu lain penanganannya, bukan UU Pemilu, itu kebebasan berekspresinya,” ungkapnya.(exe)


0 Komentar