Rabu, 25 Juli 2018 18:03 WIB

Sekitar 6.000 Pulau yang Kosong Bisa Digunakan untuk Bangun Lapas Khusus Koruptor

Editor : Yusuf Ibrahim
Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam), Wiranto. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Kemenkopolhukam sedang mengkaji rencana pemindahan lembaga pemasyarakatan (lapas) khusus narapidana korupsi ke pulau terpencil.

Lapas di tengah laut itu diharapkan bisa mencegah upaya para napi menyelundupkan barang mewah atau jalan-jalan keluar sel penjara. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam), Wiranto, menyatakan masih banyak tempat yang bisa digunakan untuk pembangunan lapas khusus koruptor.

Apalagi dari 17.000 lebih pulau di Indonesia, yang dihuni sekitar 11.000. Karena itu, masih ada sekitar 6.000 pulau yang kosong sehingga bisa digunakan untuk membangun lapas khusus koruptor. ”Nusakambangan sementara dibangun untuk menambah kapasitas lapas-lapas yang kelebihan kapasitas.

Bahkan, ada tambahan tiga lokasi lagi yang akan dibangun. Namun, kami juga masih mencari pulaupulau terluar atau terpencil untuk menjadi bagian dari sistem lapas di Indonesia. Itu tetap akan kami usahakan dan sudah kami lakukan beberapa survei,” kata Wiranto di Kantor Menkopolhukam, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, jika ditempatkan di lapas pulau-pulau terpencil, para napi korupsi tidak mudah mendapatkan fasilitas seperti bisa izin menonton bioskop, menonton tenis, dan lain. ”Itu kan nggak mungkin harus nyebrang (laut). Nah, saya kira itu bagian dari cara kami menertibkan lapas.

Tapi, itu perlu waktu,” katanya. Wiranto mengatakan, jika lapas dipindahkan ke pulau terpencil akan memudahkan petugas melakukan pengawasan. Hanya kelemahannya adalah masalah jarak dan komunikasi. ”Kami perlu pertimbangkan masalah air tawar, komunikasi, pengawasan, dan kontrol.

Jadi, pembangunan lapas di pulau terpencil tidak semudah yang kita gambarkan, cukup kompleks. Tapi, kami usahakan itu bisa diwujudkan suatu saat,” katanya. Pembangunan lapas di pulau terpencil, kata Wiranto, sebetulnya lebih akan menekankan masalah kelebihan kapasitas lapas.

Jadi, konsep itu bukan lagi masalah represifnya, tapi bagaimana mencegah supaya lapas tidak terlalu banyak penghuninya. Di sisi lain, Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane menyatakan persetujuannya dengan rencana pembangunan lapas di pulau terpencil.

Dia juga mengusulkan agar pemerintah mengubah konsep lokasi lapas yang semula berada di tengah kota dipindahkan ke pulau terluar Indonesia. ”Komersialisasi penjara dan narapidana akan terus terjadi di Indonesia, jika pemerintah tidak mengubah konsep lapas,” kata Neta, kemarin.

Menurut Neta, tindakan ini perlu dilakukan untuk menghindari para napi berkeliaran di tengah kota dan menghindari komersialisasi penjara atau napi. Keberadaan lapas di tengah kota akan memudahkan para napi berduit menyuap sipir penjara agar bisa keluar dari lapas untuk beberapa saat.

”Ada banyak fasilitas lainnya yang dengan mudah diperjualbelikan, seperti fasilitas air bersih, air panas, penggunaan ponsel, laptop, penguat sinyal, menyewa ruangan khusus, serta fasilitas istimewa untuk tamu dan keluarga,” ungkap Neta.

Hal ini menurut Neta sudah menjadi rahasia umum. Berbagai kemudahan ini umumnya dengan gampang diperoleh para napi berduit. Mereka antara lain adalah napi korupsi dan bandar narkoba. ”Lapas untuk narapidana kelas berat atau kejahatan tingkat tinggi, seperti koruptor dan narkoba, harus dibangun di pulau terluar atau pulau terpencil,” ujarnya.


Konsep kolonial Belanda yang menerapkan ”pembuangan” bagi napi atau konsep Orde Baru yang menempatkan napi di Pulau Buru, menurut Neta patut diadaptasi. Untuk itu, IPW mendesak pemerintah segera mengubah konsep lapas.(exe/ist)


0 Komentar