Senin, 07 Mei 2018 16:52 WIB

Politik Uang Jadi Bagian dari Strategi Pemenangan di Pilkada

Editor : Yusuf Ibrahim
Pengamat Sosial, Sutrija. (foto dokumentasi Sutrija)

Penulis adalah pengamat sosial, Sutrija.

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2018 diikuti 171 daerah terdiri dari 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota.

Adapun 17 provinsi tersebut di antaranya Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Bali, Malauku dan Papua. Dikarenakan banyaknya daerah yang melaksanakan pemilihan kepala daerah ini maka, pada pelaksanaannya tentunya perlu persiapan yang matang dan membutuhkan konsentrasi penuh baik bagi penyelenggara maupun calon kepala daerah dan partai politik yang mengusung para kandidat kepala daerah masing-masing dengan target kemenangan.

Bagi penyelenggara yang sudah pengalaman dengan pilkada serentak pada tahun 2017 tentunya tinggal memperbaiki kelemahan di tahun yang lalu, namun demikian tetap membutuhkan anggaran yang besar dalam pelaksanaannya, KPU (komisi pemilihan umum) sebagai yang punya hajat tentu harus menyiapkan aturan yang jelas agar pada tahap pelaksanaannya tidak terjadi permasalahan hukum yang muncul pasca hari pemilihan.

Pada tahap pelaksanaannya, Pilkada tidak hanya membutuhkan anggaran pemerintah yang besar, akan tetapi dibutuhkan kesiapan anggaran dan kapasitas yang mumpuni bagi para pasangan calon kepala daerah itu sendiri, untuk meraih dan dipercaya serta diilih oleh konstituen sebanyak mungkin agar dapat keluar sebagai pemenang sebagaimana diharapkan oleh calon dan partai politik yang mengusungnya.

Dalam hal pengusungan pasangan calon, ada beberapa model cara pengusungannya yaitu; pertama partai politik mengusung kandidat kepala daerah yang berasal dari kalangan dalam atau kadernya sendiri, kedua parpol mengusung kandidat kepala daerah dari luar kader atau simpatisan partai, dan yang ketiga parpol mendukung kandidat yang diusung partai lain atau koalisi beberapa partai.

Strategi pengusungan ini lazimnya dilihat dari besarnya suara partai atau jumlah anggota DPRD baik di daerah tingkat I maupun daerah tingkat II, dari hasil pemilihan umum sebelumnya, apabila suaranya cukup besar atau memenuhi kuorum maka satu partai dapat mengusung kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah 

sendiri atau singgle partai, akan tetapi apabila tidak cukup maka dibutuhkan koalisi beberapa partai untuk dapat mengusungnya sampai memenuhi syarat kuorum sesuai dengan aturan yang berlaku.

Partai politik dalam mengusung kandidat pasangan calon kepala daerah ada pula yang menggunakan sistim konvensi, yaitu menampung beberapa kandidat kemudian diuji kelayakannya sebagai calon kepala daerah dari partai tersebut, namun demikian ada juga parpol yang langsung menunjuk atau merekomendasikan paslonnya dengan tidak melalui sistim konvensi.

Pengusungan pasangan calon kepala daerah sudah tentu harus memenuhi syarat-syarat yang diberlakukan oleh partainya, sampai tahap ini ada beberapa persyaratan yang menarik untuk disimak yaitu ; Popularitas, Elektabilitas, Kapasitas, Akseptabilitas dan yang terahir adalah tentunya kemampuan keuangan.

Popularitas menduduki peringkat pertama karena sangat dimengerti seorang kandidat tanpa dikenal oleh masyarakat maka mustahil untuk dipilih, adapun Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan kandidat pada pilkada karena populer belum tentu dipilih oleh kontituen, disini yang perlu dipahami oleh para calon kepala daerah, berikutnya adalah Kapasitas atau kecakapan, kemampuan kandidat dalam memimpin apabila terpilih sebagai pemimpin atau kepala daerah.

Dan yang tidak kalah pentingnya adalah Akseptabilitas atau tingkat penerimaan kandidat untuk masuk dan diterima oleh semua strata masyarakat atau konstituen, disini kandidat harus mampu melihat demografi masyarakat sesuai trend yang up to date.

Terakhir yang paling sensitip adalah masalah kemampuan keuangan, disinilah letak dari semua permasalahan pilkada dari tingkat konvensi sampai dengan election atau pemilihan, karena tanpa adanya uang mustahil kandidat dapat diusung oleh partai politik untuk menjadi kandidat kepala daerah sekaligus menjadi pemenang yang dipilih oleh rakyat.

Melihat fenomena di atas maka sudah tiba saatnya bahwa money politik adalah sudah menjadi salah satu kebiasaan dan menjadi bagian dari strategi pemenangan pemilihan kepala daerah yang seharusnya tidak perlu dilarang lagi.

Mengapa demikian? Dikarenakan rakyat di desa desa sudah terbiasa dengan politik uang, hal ini sudah terjadi dan lazim dilakukan pada setiap kali pemilihan kepala desa/kuwu. Pada pemilihan kepala desa kebiasaan menggunaka uang sudah turun temurun dilakukan oleh para calon kepala desa, bahkan sudah membudaya.

Kekuatan uang pada pemilihan kepala desa seakan menjadi acuan dalam strategi pemenangannya, akan tetapi hal tersebut tidak pernah diungkap apalagi dilarang.

Oleh sebab itu sudah semestinya politik uang pada tingkat pemilihan kepala daerah tingkat II (pasangan calon bupati dan wali kota) serta pilkada tingkat I (gubernur dan wakil gubernur) sudah sering ditemukan dan bukan menjadi rahasia umum lagi lumrah dilakukan, karena itu Undang-Undang Pilkada perlu ditinjau ulang atau direvisi agar tidak lagi memasukan pasal melarang politik uang atau Legalisasi Politik Uang.

Tokoh Agama, tokoh masyarakat dan NGO atau lembaga swadaya masyarakat sudah tutup mata, tutup telinga dan tutup segalanya melihat kondisi ini, karena tokoh agama yang seharusnya menyerukan bahwa menerima dana pilkada atau money politik itu haram dan masuk neraka akan tetapi dalam hal ini tidak banyak berkomentar dan hanya berdiam diri saja.

Padahal dalam momen pilkada sudah tersosialisakan dengan sendirinya bahwa, banyak golongan masyarakat atau konstituen yang pandai memanfaatkan momen tersebut dengan mau menerima bingkisan dari pasangan calon kepala daerah.

Tidak putus sampai disini bahkan  masyarakat terkotak-kotak diantaranya; pertama masyarakat yang mau menerima dan mau memilih bagi calon yang memberikan uang, tipe kedua adalah masyarakat yang hanya mau memilih kandidat yang memberikan uang paling banyak, dan yang ketiga adalah yang paling berbahaya yaitu masyarakat yang mau menerima pemberian uang dari semua pasangan calon kepala daerah akan tetapi tidak mau memilih salah satu dari pasangan calon kepala daerah yang memberinya uang.

Untuk itu apakah money politik dilarang atau dilegalkan, jawabanya tentu hanya Tuhan dan masyarakat yang menerimanya yang tahu.(Sutrija)


0 Komentar