Minggu, 22 April 2018 17:47 WIB

Aktivis Perempuan di Politik Masih Rendah, Ini Penjelasan Viva Yoga

Editor : Aris Eko Sedijono
Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Emansipasi, menurut Wakil Ketua Umum DPP PAN Viva Yoga Mauladi, menuntut hak perempuan agar setara dengan laki-laki setiap tahun selalu diperingati, 21 April sebagai Hari Kartini. Di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, kesenjangan dan ketidaksetaraan hak perempuan sudah tidak menjadi isu signifikan lagi. 

"Perbedaan gender bukan faktor penghambat untuk berkiprah dan berkreasi. Pemenang kompetisi ditentukan oleh faktor kecerdasan, inovasi, dan integritas pribadi. Bukan oleh perbedaan jenis kelamin," ujar Viva Yoga kepada TIGAPILARNEWS, Minggu (22/4/2018). 

Tapi di bidang politik, menurut dia, partisipasi perempuan masih rendah. Meskipun sudah ada kebijakan affirmative action di Undang-undang Pemilu, namun sampai pemilu 2014, keberadaan perempuan anggota DPR masih kecil prosentasenya. 

Di pemilu 1999, dari 500 anggota DPR, yang perempuan berjumlah 45 orang (9%); pemilu 2004 dari 550 anggota DPR, yang perempuan 61 orang (11%); pemilu 2009 dari 560 anggota DPR yang perempuan meningkat berjumlah 101 orang (17,87%); dan di pemilu 2014 berjumlah 98 orang (17,53%).

"Mengapa masih rendah perempuan berpolitik meski sudah ada kebijakan afirmasi tentang kuota 30% perempuan, baik di tingkat kepengurusan partai dan di penyusunan nama caleg?," ujar Viva Yoga yang juga Wakil Ketua Komisi IV ini. 

Pertama, menurut Viva Yoga, adanya pemahaman yang salah bahwa politik adalah dunianya laki-laki, bukan dunia perempuan. Politik itu kotor, jahat, saling bantai, saling sikat, dan frasa negatif lain yang diidentikkan dengan kaum lelaki. 

"Hal ini menyebabkan perempuan tidak tertarik, malas, dan apatis memasuki gelanggang politik. Padahal politik adalah wilayah perjuangan dan pengabdian untuk menegakkan nilai-nilai ideologi, keyakinan, kebenaran, dan kebaikan," ujar Viva Yoga yang juga mantan aktivis HMI ini. 

Kedua, papar dia, tidak mandiri dalam finansial. Kebutuhan hidup pribadi dan sosialnya menggantungkan diri kepada suami. Tidak ada kemandirian bagi perempuan dalam menentukan pilihan sosial politiknya. Akibatnya perempuan menjadi powerless, tidak berdaya. Tidak banyak pilihan dalam hidupnya kecuali mengurus pekerjaan domestik rumah tangga.

"Ketiga, perempuan tidak tertarik ke politik karena sudah menjadi pilihan hidupnya. Iya memilih di zona aman dalam hidup. Karena kalau menjadi politisi akan menyebabkan waktu, tenaga, dan pikiran akan tersita dan berada di garis penuh resiko dalam hidupnya," papar Viva Yoga. 

Keempat, menurut dia, tidak semua aktivis perempuan mau/ tertarik masuk partai politik padahal mereka dibutuhkan untuk melakukan perjuangan struktural. Para aktivis perempuan memiliki kapasitas, intelektualitas, dan integritas yang baik. Tapi banyak yang gagap ketika berhadapan dengan realitas politik yang jauh dari idealita.

"Kendala di atas menjadi salah satu penyebab partisipasi perempuan di dunia politik masih rendah. Bayangkan, sudah diberi kebijakan afirmasi kuota 30% perempuan di daftar caleg dan pengurus partai, yang menjadi anggota DPR kurang dari 30%. Apalagi tidak diberikan kebijakan afirmasi," papar dia. 

Kondisi saat ini, menurut dia, menjadi tantangan bagi perempuan Indonesia untuk memasuki gelanggang politik secara masif. Menjadi srikandi Indonesia yang mampi mewarnai wacana perdebatan ide dan perumusan kebijakan negara. Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan rapuh, maka negara bisa goncang.(dia) 


0 Komentar