Kamis, 15 Maret 2018 07:32 WIB

Peran TNI di RUU Antiterorisme Tak Dibutuhkan

Editor : Rajaman
Revisi UU Terorisme (ist)

JAKARTA, Tigapilarnews.com - Direktur Imparsial Al Araf menilai revisi UU Antiterorisme tak berfokus pada pelibatan militer dalam menangani terorisme. Menurutnya, revisi UU Terorisme lebih memperhatikan aspek persuasif.

"Seharusnya revisi UU Terorisme lebih bicara aspek persuasif seperti deradikalisasi," kata Al Araf saat dihubungi, Kamis (15/3/2018).

Selain itu, kata Al Araf, UU terorisme juga semestinya fokus pada perbaikan tata penegakan hukum. Sinergi antara kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan menurutnya mesti diperbaiki.

Sedangkan pelibatan militer dalam penanganan terorisme, menurutnya, tak dibutuhkan. "Bukan malah memperkuat instrumen represif dengan melibatkan militer. Itu sesuatu yang menurut saya tidak dibutuhkan," ucap dia.

Sebagaimana diketahui, wacana pelibatan militer dalam penanganan terorisme ramai dibahas saat Jenderal Gatot Nurmantyo menjabat sebagai Panglima TNI. Saat itu, dia ingin definisi terorisme dinilai sebagai kejahatan terhadap negara.

Menurut Al Araf, terorisme tetap masuk ke dalam kategori kejahatan tindak pidana. Sehingga tak semestinya militer ikut terlibat.

"Definisi terorisme harus tetap sebagai satu kejahatan tindak pidana. Karena terorisme itu trans organize crime. Maka penanganannya melalui criminal justice system yang di dalamnya melibatkan polisi, jaksa, hakim," ujar dia.

"Jangan sampai definisi terorisme menjadi bagian keamanan negara, keamanan nasional. Tapi kejahatan tindak pidana. Persis seperti definisi sebelumnya," sambung Al Araf. 

Pelibatan TNI Disepakati

Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (RUU Anti-terorisme) Muhammad Syafi'i mengatakan, proses pembahasan RUU Anti-terorisme telah mendekati tahap final. 

Ia memprediksi, RUU Anti-terorisme akan segera disahkan pada akhir masa persidangan IV tahun sidang 2017-2018 atau sebelum masa reses pada April 2018. Pasalnya, DPR telah menyepakati sejumlah pasal yang selama ini menjadi perdebatan, salah satunya soal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme. 

"Panja sudah selesai, jadi mulai Kamis depan sudah di Timus (Tim Perumus). Timus hanya sekali sidang langsung ke Timsin (Tim Sinkronisasi) jadi sebelum reses Insya Allah sudah paripurna," ujar Syafi'i, Rabu (14/3/2013).

Syafi'i mengatakan, DPR telah menyepakati pelibatan TNI dalam upaya pemberantasan terorisme. Namun, aturan detil soal mekanisme pelibatan TNI diserahkan kepada Presiden melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres). 

"TNI terlibat dalam pemberantasan terorisme itu kan sebuah keniscayaan. Tentang bagaimana pelibatannya tadi sudah disepakati lebih lanjut akan diatur dala. perpres yang harus selesai paling lama setahun setelah UU disahkan," ujar dia. 

Secara terpisah, anggota Pansus RUU Anti-terorisme dari fraksi PPP Arsul Sani mengatakan, pasal pelibatan TNI dalam pemberantasam terorisme pada dasarnya mengacu pada kerangka UU Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 34 tahub 2004 tentang TNI (UU TNI).

Pasal tersebut menyatakan bahwa TNI bisa dilibatkan dalam operasi militer selain perang. 

"Tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang. Ini adalah terjemahan dari pasal 7 ayat 2 UU TNI. Itu kemudian disepakati, detilnya itu akan dituangkan dalam Peraturan Presiden," kata Arsul. 

"Jadi UU terorisme tidak secara detail mengatur tentang peran TNI dalam terorisme tapi menyepakati bahwa peran itu akan diatur secara detail dalam bentuk Peraturan Presiden," lanjut dia. 

Arsul menjelaskan, pelibatan TNI harus berada di bawah kewenangan Presiden karena pemberantasan terorisme merupakan tugas pemerintah. Selain itu, institusi Polri dan TNI sama-sama berada di bawah kendali Presiden sebagai panglima tertinggi. 

"Jadi biar Presiden yang mengatur peran itu. Tetap dalam koridor UU yang ada," tutur Arsul.


0 Komentar