Rabu, 20 September 2017 13:19 WIB

San Suu Kyi Disebut Pengkhianat

Editor : Yusuf Ibrahim
Pemimpin de facto Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Para pengungsi Rohingya di Bangladesh tidak percaya dengan janji pemimpin de facto Myanmar, Daw Aung San Suu Kyi yang akan menegakkan HAM dan mengizinkan para pengungsi pulang.

Alih-alih menyambut janji Suu Kyi, mereka justru menyebut peraih Nobel Perdamaian itu sebagai seorang pengkhianat.

Suu Kyi telah mengakhiri “masa diam”-nya atas kekerasan di negara bagian Rakhine atau Arakan yang dialami warga etnis muslim Rohingya. Dalam pidatonya kemarin, Suu Kyi mengecam semua pelanggaran HAM di Rakhine.

Dalam pidato yang dia sampaikan dari Ibu Kota, Myanmar, Naypyitaw, Suu Kyi memperingatkan bahwa setiap orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran di Rakhine akan menghadapi tindakan.

Sekitar 420.000 warga Rohingya telah eksodus ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri dari tindakan keras militer Myanmar.

Junta militer negara itu melakukan operasi besar-besaran sebagai respons atas serangan gerilyawan Rohingya terhadap puluhan pos polisi dan markas tentara yang menewaskan 12 petugas pada 25 Agustus lalu.

Dalam praktiknya, militer Myanmar dianggap bertindak brutal terhadap warga sipil Rohingya. Menurut para pengungsi dan aktivis, militer telah melakukan pembantaian dan pembakaran terhadap ratusan desa yang dihuni warga Rohingya.

Suu Kyi mengatakan, pemerintahnya siap untuk memulai proses verifikasi setiap saat untuk memulangkan pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri dari kekerasan di Rakhine.

“Saya ingin pulang jika saya mendapat kepastian atas hak-hak dasar saya. Tapi sulit bagi saya untuk percaya bahwa Suu Kyi akan bertindak berdasarkan kata-katanya,” kata, Khairul Amin, 40, pengungsi di kamp Balukhali, kepada Al Jazeera, Rabu (20/09/2017).

“Suu Kyi adalah pengkhianat. Mayoritas Rohingya memilih partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dengan janji bahwa dia akan memberi kami kartu identifikasi nasional,” lanjut dia.

“Tapi begitu dia menang, dia bergabung dengan partai yang didukung tentara (USDP) dan melupakan kami.”

Sultan Ahmed, 80, pengungsi di kamp Balukhali merasa tidak ada artinya lagi meski diizinkan pulang ke Rakhine.

“Saya kehilangan segalanya. Apa artinya pulang?” ujarnya. “Suu Kyi adalah pengkhianat, kami tidak bisa mengandalkan kata-katanya,” lanjut dia.

“Suu Kyi hanyalah sebuah nama di sana (Myanmar), tidak ada yang peduli padanya. Semuanya dijalankan dan diputuskan oleh tentara,” kata Sultan.

Amina Begam, 55, pengungsi di kamp Thainhkhali, juga sudah kecewa dengan Suu Kyi.

“Suami saya, Mehmudul Haq, terbunuh dalam serangan saat saya melarikan diri,” katanya. ”Saya tidak tahu banyak tentang Suu Kyi, dan dalam kondisi ini saya tidak dapat memikirkan apa yang dia katakan,” ujarnya.

“Setelah Suu Kyi mengambil alih kekuasaan, mereka membunuh orang-orang kami, membakar rumah kami dan kami kehilangan harta milik kami serta anak-anak kami, sekarang tidak memiliki apa-apa,” imbuh dia.

Mohammad Ayub, 27, pengungsi di kamp Thainhkhali, menuntut hak kewarganegaraan yang sama seperti warga Buddha Myanmar.

“Jika Suu Kyi memastikan kewarganegaraan dan kebebasan kami seperti orang-orang Buddha, maka kami bisa pulang,” katanya.

“Kami tidak diizinkan bergabung dengan partai politik dan orang-orang Buddha telah mengancam akan membunuh kami jika kami mencoba bergabung dengan politik,” ujarnya.

“Jika Suu Kyi telah melakukan pekerjaannya, situasi ini tidak akan terjadi. Dia diam saja dan telah mendukung militer dalam kebrutalannya terhadap orang-orang kami.”(exe/ist)


0 Komentar