Selasa, 11 April 2017 07:38 WIB

Berikan Doa ke Ahok-Djarot, Ketua PBNU Tak Ingin Agama Digunakan untuk Politik

Editor : Yusuf Ibrahim
Djan Faridz (kiri), Djarot, Said Aqil Siradj dan Ahok. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj memberikan doa pada pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat. Dalam doanya, Said bermunajat agar warga DKI Jakarta bisa mendapat pemimpin yang diridhai oleh Allah SWT.

Menurut Said, pemimpin yang diridhai oleh Allah adalah pemimpin yang membela rakyatnya, terutama rakyat miskin. Selain itu, seorang pemimpin juga harus bisa memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan warganya.

"Mudah-mudahan masyarakat DKI Jakarta mendapat pemimpin yang diridhai Allah, pemimpin yang prorakyat terutama masyarakat miskin dan memperhatikan kesejahteraan dan kesehatan," ujar Said saat bertemu Ahok-Djarot di Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Kramat, Jakarta Pusat, Senin (10/4).

Jakarta, lanjut Said, adalah potret bagi wilayah lain di Indonesia. Sehingga dia ingin Jakarta bisa dibanggakan, siapapun gubernurnya nanti. Said juga sempat menyinggung perjanjian antara Ahok-Djarot dan PPP kubu Djan Faridz.

"Ada selembaran ini, Pak Ahok dan Pak Djarot akan memperhatikan nasib guru agama, marbot, dan orang miskin semua akan diurus," ujar Said.

Said meminta Ahok-Djarot menepati janji-janjinya tersebut. Dia juga ingin Ahok-Djarot tidak pandang bulu dalam menjalankan semua programnya. Terakhir, Said mendoakan agar Ahok-Djarot panjang umur, sehat dan selalu mendapat ridha dari Allah.

"Tidak pandang bulu, baik muslim maupun non muslim. Kita harap panjang umur, sehat dan mendapat ridha Allah," ujar Said.

Ahok tiba di kantor PBNU, Jalan Kramat, Jakarta Pusat, pukul 19.30 WIB, Senin (10/4), setelah Djarot yang telah lebih dahulu tiba di lokasi. Keduanya kompak mengenakan kemeja batik berwarna cokelat.

Dalam kesempatan tersebut, Ahok dan Djarot datang didampingi Ketua Umum PPP Djan Faridz dan disambut Said Aqil Siradj. Di awal pertemuannya, Ahok-Djarot membahas singkat soal peresmian Masjid Raya KH Hasyim Ashari di Daan Mogot, Jakarta Barat.

"Nanti akan diresmikan Masjid Raya Kiai Haji Hasyim Ashari, tanggalnya menyesuaikan Presiden. Saya usulkan guru agamanya," kata Said Aqil di lokasi.

Saat berbincang, Said Aqil juga mengutarakan harapannya agar Pilkada bisa berjalan damai.

"Harapan PBNU, semoga Pilkada berjalan lancar, jangan sekali-sekali agama digunakan sebagai alat politik. Masjid, Wihara, klenteng seharusnya tidak boleh digunakan untuk kampanye," tutur Said Aqil.

"Substansi untuk ibadah itu nol kalau tujuannya untuk berpolitik, zero itu nilai ibadahnya," tambahnya.

Said menegaskan isi khutbah yang benar adalah yang membangun kesejahteraan, kesehatan, dan pendidikan.

Sementara itu, menurut undang-undang, setiap pasangan calon dilarang berkampanye dengan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan.

Itu dapat ditemukan pada Pasal 69 huruf i dalam Undang-Undang Nomor 01 Tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perobahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi undang-undang.

Akan tetapi, sanksi atas pelanggaran berkampanye di tempat ibadah sebagaimana diatur dalam Pasal 187 ayat (3), hanya mengatur pelaksanaan kampanye pemilihan Bupati/Walikota dan tidak menyebut pemilihan gubernur.

Meski kerap terbukti efektif, berkampanye menggunakan sentimen agama dan memakai tempat ibadah menuai kecaman dari cendekiawan Muslim, Azyumardi Azra.

Azyumardi mengimbau agar setiap umat Muslim menjaga kesucian masjid. Hal tersebut diutarakan Azyumardi ketika mengomentari video yang menampilkan sosok yang diyakini Eep Saefulloh Fatah beredar di media sosial. Dalam video itu, Eep, yang merupakan konsultan tim pemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, mengatakan ia ingin jaringan masjid menjadi alat untuk mengalahkan kandidat petahana, Ahok-Djarot.

"Jangan masjid itu digunakan sebagai tempat mobilisasi politik partisan, politik kekuasaan, politik pilkada. Saya kira tak pada tempatnya itu. Saya kira itu menodai kesucian masjid," cetusnya.

Dia memperingatkan bahwa jika kampanye politik menggunakan agama terus berkelanjutan, Indonesia terancam mengalami nasib yang sama seperti negara-negara di Timur Tengah.

"Sangat berbahaya. Bisa memecah-belah, tapi juga eksplosif," tutupnya.(exe/ist)


0 Komentar