Selasa, 28 Maret 2017 22:58 WIB

Kamboja Larang Ekspor Susu Manusia ke AS

Editor : Yusuf Ibrahim
Ilustrasi menyusui. (foto istimewa)

JAKARTA, Tigapilarnews.com- Pemerintah Kamboja secara resmi melarang penjualan dan ekspor susu manusia dari para perempuan lokal ke Amerika Serikat (AS).

Alasannya, ekspor iru telah memicu para perempuan Kamboja beralih ke perdagangan air susu ibu (ASI) yang kontroversial.

Perdangan ASI telah memikat para perempuan Kamboja demi meningkatkan pendapatan. Ekspor ASI dari para kaum perempuan Kamboja selama ini melibatkan Ambrosia Labs yang berbasis di Utah, AS.

Ambrosia mengklaim sebagai perusahaan pertama untuk sumber produk susu manusia dari luar negeri dan mendistribusikannya di AS.

Susu yang diekspor selama ini dipompa oleh para perempuan Kamboja dari keluarga miskin di Ibu Kota Phnom Penh dan kemudian dikirim ke AS. Susu itu dijual seharga USD20 per 147 ml.

Pelanggan perusahaan adalah ibu-ibu Amerika yang ingin melengkapi nutrisi bayi mereka atau para ibu yang tidak bisa menghasilkan ASI yang cukup.

Pada hari Selasa (28/3/2017), kabinet Kamboja memerintahkan Kementerian Kesehatan untuk mengambil tindakan untuk segera guna mencegah penjualan dan ekspor ASI dari ibu-ibu  Kamboja.

”Meskipun Kamboja miskin dan (hidup) sulit, tidak harus pada tingkat untuk menjual susu dari ibu,” bunyi surat perintah kabinet Kamboja, seperti dikutip AFP.

Sementara itu, pihak Ambrosia Labs telah membela usahanya. Perusahaan ini mendorong para perempuan Kamboja untuk terus menyusui dan mereka menerima tambahan ASI dari perempuan Kamboja untuk mengisi kekurangan “bank susu” di AS.

Tapi UNICEF—badan PBB untuk anak-anak—mengutuk perdagangan ASI tersebut. UNICEF mengatakan, ASI berlebih harus tetap terjaha di Kamboja, karena banyak bayi di sana kekurangan nutrisi yang tepat.

Chea Sam, seorang ibu 30 tahun yang pernah bekerja untuk Ambrosia Labs, mengatakan kepada AFP dalam sebuah wawancara baru-baru ini bahwa dia telah menjual ASI-nya selama tiga bulan setelah kelahiran anaknya.

Dari penjualan itu, dia mendapat USD7,5 hingga USD10 per hari. Menurutnya, sekitar 20 ibu-ibu lainnya juga melakukan yang sama.

”Kami menyesal bahwa perdagangan ini telah dilarang. Ini telah membantu mata pencaharian kami,” ujarnya kepada AFP.(exe/ist)


0 Komentar