Selasa, 06 Desember 2016 10:15 WIB

Shortfall Penerimaan Perpajakan Berisiko Bagi Keuangan Negara

Editor : Rajaman
JAKARTA, Tigapilarnews.com – Anggota Komisi XI DPR RI, Ecky Awal Mucharam menilai, realisasi penerimaan perpajakan yang masih jauh dari target yang telah ditetapkan di APBN (shortfall) pada tahun 2016 ini, akan berisiko bagi keuangan negara.

Kondisi tersebut, jelas Ecky, membuat kondisi keuangan menjadi mengkhawatirkan karena realisasi penerimaan perpajakan hingga akhir tahun dinilai hanya kurang dari 85 persen dari target di APBN.

“Kalau kita lihat perkembangannya, sampai akhir tahun sepertinya realisasinya hanya mencapai kurang 85 persen. Saya kira ini adalah kinerja yang buruk, padahal pemerintah sudah gunakan Pengampunan Pajak (tax amnesty) juga. Tertangkap tanggannya petugas pajak oleh KPK juga memunculkan pertanyaan publik akan efektifitas reformasi pada institusi perpajakan kita,” papar Ecky di Gedung DPR, Selasa (6/12/2016).

Sebagaimana diketahui, berdasarkan data realisasi pajak per 31 Oktober 2016, penerimaan perpajakan baru mencapai Rp 986,6 triliun atau 64,1 persen dari target APBN 2016, yaitu sebesar Rp1.539,2 triliun. Realisasi pajak tersebut sedikit lebih baik dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya (yoy) senilai Rp893,9 triliun dari Rp1.489,3 triliun atau sebesar 60 persen.

“Dengan data tersebut kita bisa melihat kenaikan penerimaannya belum signifikan padahal sudah memasukkan hasil tebusan dari Pengampunan Pajak. Jadi efektifitas secara keseluruhan tidak nampak. Secara umum ini mengindikasikan adanya trade-off antara tax amnesty dengan target penerimaan pajak secara regular,” jelas Ecky.

Ecky menambahkan, jika benar prognosa penerimaan perpajakan tahun 2016 hanya di kisaran 85 persen, hal ini akan mengulang kondisi tahun sebelumnya. Ecky memberikan catatan khusus atas tidak tercapainya target penerimaan perpajakan tahun 2015, yang hanya tercapai sebesar 83,2 persen atau setara dengan Rp1.240 triliun dari target APBNP 2015. Hal ini lebih rendah dari pencapaian penerimaan perpajakan tahun 2014 yang mencapai 92,04 persen, dan 2013 yang mencapai 93,81 persen serta tahun 2012 yang mencapai 94,4 persen.

“Ini harus menjadi pelajaran berharga, dimana pencapaian penerimaan perpajakan masih membutuhkan langkah-langkah terobosan yang kuat. Upaya untuk mencapai target harus dijalankan lebih kredibel karena akan berpengaruh signifikan terhadap komponen-komponen lain dalam APBN, terutama realisasi defisit dan utang, serta beban biaya bunga utang yang akan ditanggung ke depan,” ujarnya.

Dampak lain yang signifikan ke depan menurut Ecky adalah risiko pemotongan anggaran akan berulang. Diketahui, sepanjang tahun 2016, pemerintah telah melakukan pemangkasan anggaran dengan total Rp137,6 triliun, yang terdiri dari transfer daerah dan dana desa sebesar Rp72,9 triliun dan anggaran kementerian dan lembaga senilai Rp64,7 triliun.

Kementerian Pertahanan menjadi kementerian yang mendapat pemangkasan anggaran terbesar dengan nilai Rp7,3 triliun. Selanjutnya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dipangkas Rp6,9 triliun dan anggaran Kementerian Pertanian dikurangi Rp5,9 triliun. Sementara itu, Kementerian Kesehatan mendapat jatah pemotongan anggaran sebesar Rp5,5 triliun, Kementerian Perhubungan Rp4,7 triliun, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp3,9 triliun, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan dipotong Rp3 triliun.

“Pemotongan anggaran di tengah tahun anggaran menimbulkan dampak pada koreksi ekonomi dan pelambatan pertumbuhan secara keseluruhan. Karena belanja pemerintah sebagai driver ekonomi lainnya mengalami koreksi signifikan,” jelas Ecky.

Untuk meningkatkan penerimaan perpajakan ke depan, Ecky memandang pemerintah harus bersungguh-sungguh mencari terobosan. Pemerintah perlu secara serius dan tegas dalam menggali sektor-sektor yang masih under-tax.

“Pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan pada dasarnya masih jauh dari optimal. Tax ratio yang stagnan dan bahkan menurun beberapa tahun terakhir perlu menjadi perhatian serius,” lanjut Ecky.

Berdasarkan data Direktorat Perpajakan, jumlah wajib pajak yang terdaftar hanya sebesar 30,04 juta (2,4 juta WP Badan, 5,24 juta WP Pribadi Non-karyawan dan 22,4 juta WP Pribadi Karyawan). Padahal, menurut data BPS jumlah pekerja di Indonesia mencapai 93,72 juta, atau artinya hanya 29,4% yang terdaftar sebagai wajib pajak.

“Salah satu kebijakan besar untuk menyelesaikan berbagai permasalahan perpajakan yang belum diselesaikan pemerintah adalah reformasi perpajakan, yang menjadi prasyarat penting untuk meningkatkan penerimaan perpajakan secara komprehensif dan berkelanjutan,” tutur alumnus STAN ini.

Pemerintah juga perlu meningkatkan kepatuhan wajib pajak serta menurunkan tingkat tax evasion dan mereduksi praktik transfer pricing khususnya oleh perusahaan asing. Pemerintah juga perlu lebih serius untuk melanjutkan pengusutan penggelapan pajak dari aktivitas 2.000 PMA dengan potensi pajak yang hilang mencapai Rp500 triliun yang sering disampaikan Menteri Keuangan pada berbagai media sebelumnya.

“Hal yang juga penting adalah reformasi Dirjen Pajak dan pemenuhan kebutuhan SDM yang berintegritas tinggi. Tidak boleh lagi ada pengkhianat yang melakukan korupsi dan meruntuhkan kepercayaan publik pada institusi pajak,” tutup Ecky.
0 Komentar