Rabu, 11 Mei 2016 16:14 WIB

Jaksa Agung : Lambang Palu Arit Meresahkan Masyarakat

Editor : Rajaman
JAKARTA, Tigapilarnews.com - Jaksa Agung M Prasetyo mengakui adanya keresahan di masyarakat dengan beredarnya lambang Palu dan Arit dengan latar belakang warna merah menyala, yang identik dengan lambang komunisme (PKI).

Prasetyo menjelaskan, dengan peredaran lambang yang dulu digunakan sebagai logo Partai Komunis Indonesia (PKI) itu sudah diatur dalam TAP MPRS 25 Tahun 1966 dan UU Nomor 27 Tahun 1999.

"Semua mengatur itu. Pertama kalau di TAP MPRS itu diputuskan untuk membubarkan PKI dan dilarang menyebarkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme dalam segala bentuk dan wujud apapun," kata Prasetyo di Kantor Presiden, Rabu (11/5/2016).

Lantas apakah ada ketakutan dari pemerintah terkait maraknya peredaran lambang PKI ?

"Kalian takut enggak? Yang pasti sekarang menimbulkan keresahan kan. Yang pasti bangsa ini melalui MPR menyatakan komunis dilarang di Indonesia. Ketika ada pihak-pihak yang terindikasi mencoba-coba menghidupkan paham itu lagi kemudian menimbulkan keresahan kan. Nah itu yang harus kita lihat, apalagi UU-nya ada," jelas Prasetyo.

Prasetyo melanjutkan, pembahasan mengenai masalah itu akan melibatkan pakar hukum, politik hingga bahasa. Prasetyo pun mengimbau agar lambang tersebut tidak lagi digunakan secara sembarangan, sebab acap kali dikaitkan dengan pemahaman komunisme.

"Apakah itu sudah masuk kategori, apa sudah menyebarkan ajaran komunis atau tidak? Saya pikir dengan sikap yang mereka lakukan, arah ke sana ada. Untuk apa dia pakai lambang palu arit? Apa hanya untuk gagah-gagahan? Saya rasa tidak. Itu dibagikan pada banyak orang," kata Prasetyo.

Mengenai adanya ketidaktahuan orang mengenai arti lambang 'Palu dan Arit' ini, Prasetyo menilai semesetinya semua pihak sudah memahaminya. Sebab sudah banyak dijelaskan baik dalam undang-undang maupun peraturan lainnya. Maka dari itu, Prasetyo meminta kepada generasi muda untuk tidak mengenakan lambang ini dalam kehidupan sehari-hari karena sangat menimbulkan keresahan.

"Kenapa enggak tahu? UU itu begitu diundangkan, enggak bisa orang mengatakan tidak tahu. Jangankan mereka yang berpendidikan, yang di pucuk gunung pun enggak bisa katakan enggak tahu. Misal orang dari pucuk gunung datang bawa motor, sampai sini lampu merah ditabrak. Dia enggak bisa dia katakan enggak tahu bahwa lampu merah dilarang jalan," jelas Prasetyo.
0 Komentar